Ajaran Radikal Bukan Produk Agama

Riau | Senin, 10 Desember 2018 - 09:45 WIB

Ajaran Radikal Bukan Produk Agama

Oleh: Bagus Santoso, Mahasiswa S3 Ilmu Politik, Praktisi Politik dan Anggota DPRD Riau

SEIRING dengan perjalanan umur dunia yang semakin tua, jumlah agama dan aliran kepercayaan semakin terpecah berkeping menjadi sangat banyak. Jika agama telah terpecah menjadi banyak sekte, maka aliran-aliran kepercayaan di dunia saat ini dapat diperkirakan berjumlah ribuan atau puluhan ribu.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Di Indonesia saja kini memiliki enam agama resmi (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu) dan 245 aliran kepercayaan yang terdaftar di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 (Wikipedia). Diperkirakan Indonesia dengan banyak suku dan 700 bahasa maka aliran kepercayaan yang tidak terdaftar masih banyak lagi.

Dengan melihat banyaknya perbedaan keyakinan di atas, Indonesia bisa disebut sebagai lahan paling subur tumbuhnya bibit radikalisme. Dengan realitas perbedaan diametral antar agama dan aliran kepercayaan maka sangat potensial untuk terjadi sentimen, konflik hingga peperangan. Sebagaimana dalam pandangan psikologi sosial, bahwa potensi konflik terjadi dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan.

Namun faktanya Indonesia tetap utuh berdiri di atas kemajemukan itu. Alasannya, karena masyarakat nusantara, sudah terbiasa dengan munculnya keberagaman agama, keaneragaman suku bangsa, budaya, dan bahasa. Bagi bangsa Indonesia perbedaan agama, suku, dan bahasa sudah final dan tidak perlu diperdebatkan dan dipertentangkan lagi.

Kalau Indonesia mau pecah akibat gerakan radikalisme yang bernuansa agama, sejak dari dulu pecah berantakan. Artinya gerakan radikalisme berlatar belakang agama untuk melawan pemerintahan yang sah secara konstitusional di Indonesia sudah berakhir pascapemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah pimpinan Kartosuwiryo pada 1962.

Sesudahnya hampir tidak ada lagi gerakan radikalisme yang mengatasnamakan agama.  Hal ini disebabkan, karena umat Islam sebagai agama mayoritas sudah mulai  menerima keragaman itu. Bahkan menurut pemimpin tertinggi Al-Azhar Prof Dr Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb, agama Islam di Indonesia telah menjadi agama kemanusiaan secara universal.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook