“Dia memang bersifat kasar,” kali ini air mata mulai mengalir membasahi pipinya. Dijelaskan, selama tinggal di kampung, biaya sekolahnya ditanggung mak tuanya dan sesekali ibu angkatnya juga mengirim sedikit uang untuk biaya keperluan lain-lain.
Peristiwa itu mereka ketahui dari saudaranya yang tinggal di Pekanbaru. Saat itu Elin masih di sekolah. Begitu mendapat kabar ibunya meninggal ditembak bapaknya sendiri, mereka sempat ingin berangkat ke Pekanbaru. Setelah dikabarkan bahwa jenazah akan dibawa ke kampung, merekapun batal berangkat dan memilih menunggu di rumah oppungnya di Huta Ginjang.
"Yang mengasih kabar itu bapak kandungku, Bang. Kebetulan orangtuaku itu tinggal di Pekanbaru juga," ungkap Elin.
Elin sejenak berhenti bercerita. Dia tampak sesenggukan sembari mengusap air matanya yang semakin deras mengalir. Kemudian dia melanjutkan cerita. Dikatakan, terakhir kali dirinya berkomunikasi dengan ibunya pada Sabtu lalu. Waktu itu, korban menanyakan kabar Elin sambil berbagi canda dan tawa.
Namun, dia tak menyangka bahwa kejadiannya akan seperti ini. wanita yang sangat dikasihinya itu justru tewas mengenaskan. Padahal, kata Elin, setelah tamat sekolah nanti, dia ingin menjadi seoarang pengusaha sukses untuk bisa membahagiakan ibunya. Sayang, keinginannya itu kandas di tangan bapaknya yang tidak bisa menahan amarah.
“Selama hidup, mamak sayang sama aku. Tekadku bulat, kalau tamat sekolah nanti aku harus bisa membahagiakannya. Tapi itu semua tinggal kenangan,” ujarnya sembari kembali mengusap air matanya dengan sarung yang dipegangnya sejak tadi.
Sembari bercerita, terdengar sayup-sayup suara sirine ambulance dari kejauhan, sekira pukul 16.00 WIB. Elin seketika bangkit dari tempat duduknya, begitu juga puluhan warga yang memenuhi rumah duka. Begitu jenazah tiba, tangis memecah, bahkan histeris.(end/ara)
Laporan: RPG
Editor: Fopin A Sinaga