Sedangkan Arbain banyak menjelaskan tentang bagaimana suatu foto yang bagus, indah, berbicara hingga bagaimana bisa menghasilkan foto yang diinginkan. Sering kali, kata Arbain, foto yang menurut kita bagus saat di lapangan belum tentu bagus bagi redaktur di kantor.
Arbain Rambey menyampaikan materinya tentang fotografi.
“Saya punya pengalaman saat pertama kali Indonesia meraih emas olimpiade dari cabang bulutangkis. Waktu itu saya foto Susi Susanti yang meneteskan air mata saat lagu Indonesia Raya berkumandang. Tetapi ternyata oleh tim di redaksi di Jakarta minta foto yang dia gembira. Kata orang kantor, orang bahagia dapat medali kok malah menangis. Akhirnya yang dipilih adalah foto saat Susi mengekepresikan kegembiraannya. Artinya, waktu kita berada di lapangan ayo, ambil sebanyak mungkin momen karena bisa jadi salah satu dari momen itu yang terbaik,” ujarnya.
Dalam hal posisi fotografer, suatu media kalau mau mendapatkan hasil foto yang bagus, sering kali mengirimkan banyak fotografer. Para fotografer ini disebar ke beberapa titik untuk mengambil gambar. “Nah nanti dari sekian banyak foto yang mereka setor, bisa jadi hanya satu yang akan dipilih,” katanya.
Menurut Arbain, dengan adanya teknologi smartphone yang memiliki fasilitas kamera yang sudah berkualitas bagus, semua orang bisa memotret. Namun pertanyaannya, apakah semuanya bisa menghasilkan foto yang bagus atau tidak.
“Di sinilah seorang wartawan dituntut untuk bisa melebihi orang-orang yang memiliki smartphone lalu foto-foto. Apakah smartphone bisa dipakai untuk foto jurnalistik saya katakana bisa. Karena kami di Kompas pun untuk foto headline halaman 1 banyak juga yang diambil dengan kamera smartphone. Hanya saja pasti ada saja kelemahan dan kelebihannya. Di sesuaikan saja kebutuhan apakah pakai smartphone atau kamera biasa,” ujarnya.(fas)