JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menggelar pemeriksaan awal terhadap sembilan hakim konstitusi, Senin (30/10). Pemeriksaan yang digelar di lantai 4 gedung MK itu sebagai tindaklanjut penanganan dugaan pelanggaran etik hakim dalam kasus putusan usia capres/cawapres.
Ketua MKMK Jimly Ashiddiqie mengatakan, dalam pemeriksaan awal pihaknya menyampaikan mekanisme pemeriksaan dan jadwal. Usai diperiksa bersama, akan ada pemeriksaan lanjutan satu per satu. “Biar mereka bebas menyampaikan segala sesuatu yang mereka alami,” ujarnya di Gedung MK, Senin (30/10).
Dalam kesempatan itu, Jimly juga menyampaikan perubahan jadwal penanganan perkara. Meski diberi waktu 30 hari, pihaknya berkomitmen untuk menuntaskan kasus maksimal pada 7 November. Percepatan itu berkaitan dengan permintaan beberapa pelapor yang berharap kasus diputus sebelum batas akhir pergantian nama capres/cawapres. Sebelumnya, pelapor berharap agar ada kesempatan mengganti nama capres/cawapres jika terbukti ada pelanggaran dalam putusan 90 tahun 2023 tersebut. “Kita penuhi permintaan itu,” tegas Jimly.
Mantan Ketua MK itu khawatir, jika tidak dipenuhi akan muncul suara-suara miring terhadap MKMK. “Jangan sampai timbul kesan misalnya ada orang menganggap sengaja ini dimolor-molorin,” kata Jimly. Di samping itu, penanganan yang cepat juga diharapkan bisa menjadi dasar kepastian hukum dalam Pilpres 2024.
Pemeriksaan lanjutan akan digelar hari ini dengan agenda mendengarkan laporan Denny Indrayana dan 16 guru besar. Kemudian digelar maraton untuk pihak-pihak lainnya sampai 7 November. Jimly juga berharap masyarakat tidak melaporkan kembali. Sebab saat ini sudah ada 18 laporan yang secara substansi sama. Harapannya, kerja MKMK jadi lebih cepat.
Sementara itu, di tengah proses etik yang berjalan, wacana reshuffle atau pergantian sembilan hakim MK bergulir. Wacana itu datang dari salah satu hakim yang menyampaikan dissenting opinion dalam putusan 90 tahun 2023, Arief Hidayat.
“Dalam benak saya, terakhir-terakhir ini mengatakan, sepertinya kok Mahkamah Konstitusi sembilan-sembilan hakimnya kok harus di-reshuffle,” kata Arief dalam keterangannya.
Ide itu, lanjut dia, muncul karena kebuntuannya untuk menjaga marwah kelembagaan MK. Arief khawatir, MK tidak bisa mengarungi berbagai kritikan atas putusan terakhir yang ramai diperbincangkan publik. “Apa iya ya, kita mampu pulih. Kalau tidak mampu pulih, apa kita memang bersembilan memang harus di-reshuffle,” ucap Guru Besar Undip, Semarang itu.
Namun sebagai sebuah gagasan dan pemikiran, Arief menyerahkan kepada publik. Bila masyarakat menginginkan hal itu sebagai solusi atas berbagi problematika bangsa terkini, maka Arief siap dan berharap 8 hakim MK lainnya melakukan hal serupa. “Kalau ini keinginan Bangsa Indonesia untuk me-reshuffle, bagi saya ya saya kira ngga apa-apa,” tegasnya.(far/jpg)