Bahkan, gaji presiden dan menteri pun tak setinggi Dewan Pengarah BPIP.
“Ini adalah lembaga non-struktural, kerjanya ad hoc, tapi kok kenapa standar gajinya bisa setinggi langit begitu?" tanya dia.
Yang
ketiga, dari sisi anggaran dan reformasi birokrasi. Dia menyebut,
Presiden Joko Widodo selalu bicara mengenai pentingnya efisiensi
anggaran dan reformasi birokrasi. Itu pula sebabnya dalam kurun
2014-2017 ada 23 lembaga non struktural (LNS) berupa badan maupun komisi
yang telah dibubarkan pemerintah.
Mulai Dewan Buku Nasional, Komisi Hukum Nasional, Badan Benih Nasional, hingga Badan Pengendalian Bimbingan Massal (Bimas).
"Tapi, pada saat bersamaan, presiden justru malah terus menambah lembaga non-struktural baru," ucapnya.
Dalam
catatannya, sejak 2014 hingga kini, melalui berbagai perpres setidaknya
presiden telah meneken sembilan lembaga non-struktural baru, seperti
Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN),
hingga BPIP ini.
"Jumlahnya memang hanya
sembilan, tapi Anda bisa menghitung betapa mahalnya ongkos operasional
lembaga-lembaga non-struktural baru yang dibikin Presiden Joko Widodo
jika standar gaji pegawainya dibikin tak masuk akal begitu," paparnya.
Yang
keempat, dari sisi tata kelembagaan. Fadli mencatat adanya
kecenderungan presiden untuk membuat lembaga baru setingkat kementerian.
Dia menyebut, hal itu mestinya dihentikan karena bisa overlap dan menimbulkan bentrokan dengan lembaga-lembaga yang telah ada.
"Mungkin karena yang bersangkutan merasa setingkat menteri sehingga tak menyadari jika pernyataan-pernyataannya sudah offside terlalu jauh," tuntasnya.(boy)
Sumber: JPNN
Editor: Boy Riza Utama