CIREBON (RIAUPOS.CO) -- Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menawarkan lima proposal Kenegaraan sebagai penyempurnaan dan penguatan sistem bernegara sesuai rumusan para pendiri bangsa.
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan lima Proposal Kenegaraan tersebut mempunyai kepentingan lebih luas. Bukan hanya memperkuat lembaga DPD RI namun memperkuat bangsa dan negara Indonesia, dalam menghadapi tantangan yang lebih kompleks akibat ancaman dan perubahan situasi global yang tidak menentu.
"DPD RI sudah pernah berupaya memperkuat peran dan fungsi Lembaga DPD RI dengan melakukan uji materi ke MK. Saat itu putusan MK memberi kewenangan kepada DPD RI untuk membahas sampai tuntas Rancangan Undang-Undang terkait daerah," kata LaNyalla pda acara Press Gathering DPD RI dan Koordinatoriat Wartawan Parlemen di Cirebon, Kamis (21/9/2023) malam.
Namun, putusan MK tersebut sampai detik ini tidak pernah diakomodasi di dalam UU MD3 dan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karena di UUD masih ada Pasal 20 ayat (1)," sambungnya.
Senator asal Jawa Timur itu menjelaskan upaya penguatan DPD RI juga dilakukan melalui Amandemen ke-V. "Bahkan naskah akademik penguatan terkait hal tersebut sudah disusun, tetapi upaya itu juga gagal diwujudkan, karena secara yuridis formal di Pasal 37 UUD, kami di DPD RI tidak memenuhi jumlah untuk mengusulkan agenda amandemen," sebutnya.
Lima proposal kenegaraan yang ditawarkan saat ini merupakan upaya ketiga. Tetapi upaya ini beda dengan dua upaya sebelumnya. Karena bukan untuk kepentingan DPD RI saja, tetapi lebih luas dari itu yaitu untuk kepentingan agar bangsa dan negara ini dapat mempercepat mewujudkan cita-cita dan tujuan lahirnya negara ini.
"Lima proposal kenegaraan DPD RI ini muncul dari hasil temuan dan aspirasi dari 34 provinsi dan hampir di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Di mana persoalan yang dihadapi, sama. Yaitu ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, dan kemiskinan struktural yang sulit dientaskan," jelasnya.
Dalam penelaahan DPD RI, akar persoalannya adalah Konstitusi hasil Perubahan di tahun 1999 hingga 2002 telah meninggalkan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi dan meninggalkan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi. "Hal ini juga sesuai dengan temuan Komisi Konstitusi yang dibentuk MPR pada tahun 2002, dan hasil kajian akademik Pusat Studi Pancasila di UGM," tuturnya.
Atas kesadaran tersebut, lanjut LaNyalla, DPD RI membahas hasil temuan dan aspirasi yang diterima dan pada akhirnya bersepakat untuk menawarkan gagasan perbaikan Indonesia, demi Indonesia yang lebih kuat, lebih bermartabat, lebih berdaulat dengan cara kembali menerapkan sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa.
"Makanya kita harus kembali kepada Pancasila. Karena bangsa ini nyatanya masih bersepakat bahwa Pancasila adalah Falsafah Dasar bangsa dan negara ini. Wujud dari kembali kepada Pancasila itu tentu dengan mengembalikan Konstitusi Negara ini kepada rumusan para pendiri bangsa," imbuh dia.
Ia melanjutkan, DPD RI juga menyadari ada kelemahan di dalam sistem tersebut. Sebab dilahirkan dalam suasana yang mendesak dan revolusioner pada saat itu. Makanya DPD RI menawarkan penyempurnaan dan penguatan sistem tersebut, bukan penggantian sistem bernegara, seperti yang terjadi di dalam Amandemen tahun 1999 hingga 2002.
"Sehingga, Proposal Kenegaraan DPD RI berbunyi "Penyempurnaan dan Penguatan Sistem Bernegara Sesuai Rumusan Pendiri Bangsa". Supaya kita tidak membuka ruang untuk penyimpangan praktek dari nilai-nilai tersebut, seperti pernah terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru," tegasnya.
Dalam kesempatan itu, LaNyalla juga menyampaikan lima Proposal Kenegaraan DPD RI. Dalam proposal kenegaraan, selain mengadopsi apa yang menjadi tuntutan reformasi, tentang pembatasan masa jabatan presiden dan menghapus KKN, serta penegakan hukum dan HAM.
Kusus proposal kedua, di mana kamar DPR RI, sebagai pembentuk Undang-Undang agar dibuka peluang bagi peserta pemilu dari unsur perseorangan, menurut LaNyalla, sebenarnya bukan gagasan baru.
Dunia Internasional juga sudah melakukan hal itu. Termasuk 12 Negara di Eropa dan yang terbaru adalah Afrika Selatan, yang membuka pintu kamar DPR tidak hanya dari unsur peserta pemilu dari anggota partai politik saja. Tetapi juga perseorangan berbasis wilayah atau provinsi.
"Hal itu sangat penting agar Undang-Undang yang dihasilkan, yang mengikat secara hukum kepada seluruh warga negara tidak hanya dibuat oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi juga oleh keterwakilan masyarakat non-partisan atau people representative," tukas dia.
Menurut LaNyalla, faktanya di Indonesia, anggota DPR dari partai politik dalam mengambil keputusan masih sangat didominasi arahan Ketua Umum Partai. Sehingga sangat tidak adil, bila 275 juta penduduk Indonesia menyerahkan kepatuhan hukum atas Undang-Undang yang dibentuk atas arahan Ketua Umum Partai yang mempunyai anggota di DPR.
"Itulah mengapa, anggota DPD RI, yang juga peserta pemilu dari unsur perseorangan yang berbasis provinsi secara merata, harus berada di dalam Kamar DPR RI, sebagai bagian dari mekanisme check and balances yang utuh. Sekaligus sebagai bagian dari suara provinsi dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Rote," pungkasnya.
Dalam acara tersebut selain Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, hadir juga Wakil Ketua DPD RI Mahyudin, beberapa anggota DPD RI antara lain Bustami Zainudin (Lampung), Fachrul Razi (Aceh), Eni Sumarni (Jawa Barat), Amang Syafrudin (Jawa Barat), Asep Hidayat (Jawa Barat), Achmad Nawardi (Jawa Timur), Dedi Iskandar Batu Bara (Sumut), Darmansyah Husein (Bangka Belitung), Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin, Sekjen DPD RI Rahman Hadi beserta jajarannya dan Ketua KWP Ariawan dan para wartawan parlemen.
Laporan: Yusnir (Cirebon)
Editor: Rinaldi