PEMILU 2024

Pakar Hukum UGM: KPU Bisa Jadi Alat Tunda Pemilu 2024

Politik | Selasa, 15 Maret 2022 - 03:08 WIB

YOGYAKARTA (RIAUPOS.CO) - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mengaku khawatir Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menjadi alat pemerintah untuk menunda penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Zainal menyatakan terdapat sejumlah skenario yang memungkinkan untuk dimainkan dengan menjadikan KPU sebagai alat atau jalan menunda penyelenggaraan Pemilu 2024.


"Saya hanya ingin berbagi kekhawatiran saya, jangan-jangan KPU bisa jadi jalan yang dipakai untuk menunda pemilu, sehingga terjadi keadaan krisis konstitusional dan seakan terjadi keadaan objektif rasional untuk menunda pemilu," kata Zainal dalam sebuah video di akun YouTube miliknya, dikutip Senin (14/3/2022).

Skenario pertama, kata Zainal, KPU periode 2022-2027 yang akan dilantik beberapa pekan mendatang menyatakan tidak mampu menggelar Pemilu 2024. Menurut Zainal, skenario ini bisa dilakukan dengan memberhentikan jajaran komisioner KPU terkait karena tidak memiliki kapasitas untuk melaksanakan tugas.

"Penundaan itu dilakukan kapan? Pernyataan menyerah itu dilakukan kapan? Misalnya, sekarang ditetapkan 14 Februari oleh KPU sekarang yang akan diganti 10 April 2022. Tiba-tiba KPU yang akan dilantik menyatakan tidak mampu untuk menyelenggarakan pemilu," ujarnya.

"Maka saya termasuk mengatakan ya sangat mungkin kita dorong ke arah komisioner KPU ini tidak punya kapasitas untuk menyelenggarakan pemilu dan dapat menjadi alasan pemberhentian," sambungnya.

Skenario kedua yang mungkin dimainkan, Zainal menyebut KPU tiba-tiba menyatakan tidak bisa menggelar Pemilu 2024 jelang hari pemungutan suara 14 Februari 2024. Menurutnya, skenario ini bisa diatasi lewat cara yang diatur di Pasal 555 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dalam aturan itu, kata Zainal, mekanisme penyelenggaraan pemilu diambil alih oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPU yang bila tidak mampu juga maka diambil alih presiden dan DPR.

"Misalnya seharusnya yang dilakukan kalau komisioner tidak bisa melakukan tahap, maka di UU Pemilu di Pasal 555 disediakan mekanismenya. Dikatakan ya seharusnya Sekjen KPU ambil alih, kalau ada tahapan penyelenggaraan tidak bisa dilakukan komisioner," katanya.

Zainal mengatakan, pengambilalihan kewenangan menyelenggarakan pemilu akan menjadi hal yang merepotkan bila sampai dilakukan oleh presiden dan DPR. Apalagi, menurutnya, pengambilalihan itu tidak diikuti dengan keseriusan untuk menggelar pemilu. Dalam situasi ini, Zainal menyebut akan terjadi situasi krisis konstitusional.

"Repotnya, adalah bagaimana kalau presiden dan DPR tidak serius untuk melakukan pemilu, maka dengan seketika terjadi semacam krisis konstitusional," ujarnya.

Lebih lanjut, Zainal menegaskan bahwa dirinya tidak bermaksud untuk mengatakan KPU jahat, mau merusak pemilu, atau tidak mau melakukan pemilu. Namun, ia menilai nuansa proses pemilihan komisioner KPU periode 2022-2027 beberapa waktu lalu agak berbau amis karena nama komisioner terpilih sudah beredar sebelum fit and proper test.

"Mulai dari tingkat pansel, lalu kemudian di tingkat fit and proper test. Bahkan, kemudian orang-orangnya, beredar nama mereka terpilih jauh sebelum fit and proper test dilakukan. Artinya, sudah ada kesepakatan-kesepakatan," katanya.

Kekhawatiran Zainal bukan tanpa alasan. Di tengah wacana penundaan Pemilu 2024, tujuh komisioner KPU dan lima anggota Bawaslu masa jabatan 2022-2027 terpilih bertemu dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.

Hal itu diketahui melalui unggahan foto di Instagram resmi Cak Imin (@cakiminow) pada Jumat (11/3) lalu. Dalam unggahan itu, terlihat Cak Imin dan 12 orang KPU-Bawaslu beserta 2 orang lainnya duduk dan foto bersama.

Cak Imin merupakan salah satu elite politik yang menggulirkan wacana penundaan Pemilu 2024. PKB pun juga bergerak untuk mewujudkan wacana tersebut.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengkritik pertemuan Cak Imin bersama dengan anggota KPU dan Bawaslu terpilih tersebut.

Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati menilai pertemuan yang berlangsung sekitar dua hari lalu itu kurang sesuai dilakukan lantaran 12 orang tersebut belum dilantik untuk bertugas secara resmi oleh Presiden Joko Widodo.

"Sebaiknya pertemuan seperti ini dilakukan jika sudah secara resmi dilantik. Hubungan kelembagaan baru terjadi jika sudah ada pelantikan secara resmi," kata Khoirunnisa.

Sumber: JPNN/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook