JAKARTA (RIAUPOS.CO) - DIREKTUR Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan, jika melihat data survei IPO, ada 29 persen pemilih yang masih gamang dan belum menentukan pilihan. “Kelompok ini tentu akan menjadi target utama bagi para kandidat,” terangnya.
Pemilih mengambang itu merupakan kelompok kelas menengah ke atas. Dalam menentukan pilihan, mereka masih menunggu dan melihat gagasan yang akan disampaikan para kandidat melalui forum debat. Jadi, hasil dari debat akan menjadi pertimbangan bagi mereka untuk menentukan pilihan.
Jika melihat dari Pilkada 2017 sampai 2020, ada beberapa kandidat yang awalnya tidak diunggulkan, tapi akhirnya memenangi kontestasi. Pada Pilkada DKI Jakarta 2017 misalnya, Anies Baswedan merupakan calon gubernur yang tidak diunggulkan, kalah dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. “Anies selalu berada di urut nomor tiga dalam survei,” paparnya.
Ketika pemilihan berlangsung, kata Dedi, IPO melakukan exit poll, yaitu survei yang dilakukan setelah pemilih keluar dari tempat pemungutan suara (TPS). Hasilnya, ada 74 persen pemilih yang menggeser pilihannya setelah debat. Jadi, debat berdampak pada tingkat elektabilitas.
Begitu juga Pilkada Kepulauan Riau pada 2020. Saat itu, calon incumbent Isdianto-Suryani selalu diunggulkan dalam setiap survei. Namun, kandidat itu akhirnya kalah dengan pasangan Ansar Ahmad- Marlin Agustina.
Salah satu faktornya adalah pemilih melihat gagasan yang disampaikan Ansar-Marlin ketika debat. Khususnya, kelompok pemilihan mengambang. Padahal, pasangan itu diserang dengan isu politik dinasti. “Justru ketika Ansar-Marlin memunculkan gagasannya, kandidat ini menjadi pemenang,” paparnya.
Dalam konteks Pemilu 2024, lanjut Dedi, debat akan menjadi momen penting bagi Anies dan Ganjar Pranowo yang tidak menguasai tingkat elektabilitas untuk meningkatkan tingkat keterpilihan mereka. Bisa saja debat akan menurunkan elektabilitas Prabowo.
Jadi, tidak menutup kemungkinan, tingkat penurunan elektabilitas Prabowo akan sama besarnya dengan tingkat kenaikan elektabilitas Anies dan Ganjar. “Kelompok yang belum menentukan pilihan bukanlah pemilih loyal. Mereka akan mengundi apakah ke Anies atau Ganjar,” bebernya.
Sebenarnya, kata Dedi, dari sisi teknis dan jadwal debat, itu sangat menguntungkan Prabowo-Gibran. Misalnya, soal tema debat pertama yang membahas tentang penegakan hukum, isu HAM, dan korupsi. Memang itu akan menjadi kelemahan Prabowo, karena banyak masalah di pemerintahan Jokowi yang berkaitan dengan tema debat.
Tapi, masyarakat akan lupa dengan hasil debat pertama. Sedangkan debat terakhir akan mengangkat tema kesejahteraan sosial. Prabowo akan dengan mudah menjelaskan. Pemerintah pun bisa menggelontorkan BLT kepada masyarakat. “Jadi, jadwal dan tema debat mengesankan menguntungkan Prabowo,” pungkasnya
Sementara Peneliti Senior Populi Center Usep Saepul Ahyar menuturkan, debat Capres dan Cawapres akan mempengaruhi berbagai kondisi. Terutama, bagi setiap orang yang konsen terhadap isu debat. ”Namun, dampaknya terhadap elektabilitas tidak banyak. Di bawah 10 persen,” ujarnya.
Debat akan berpengaruh bila sosok kandidat itu tidak terlalu dikenal, baik reputasi dan kompetensinya. Menilik Debat Pilkada DKI Jakarta 2017, bagi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)debat tersebut berpengaruh banyak saat itu. ”Karena belum begitu dikenal kemampuan dan kapabilitasnya. Hanya sekedar diketahui anak dari Soesilo Bambang Yudhoyono,” terangnya.
Dalam debat Capres dan Cawapres ini hampir semua kandidat sudah dikenal. Maka, pengaruhnya akan sedikit. ”Menilik keterbatasan waktu, tematik, dan protokoler formal maka debat kali ini tidak akan terjadi gagasan pembeda. ”Debat ini bisa jadi kandidat terlihat sama saja, sebelas dua belas. Apalagi, sudah ada penggiringan opini sebelum debat,” terangnya.(ose)
Laporan JPG, Jakarta