"Kami menilai ada beberapa kejanggalan dalam Putusan PTUN Jakarta tersebut," katanya, sebagaimana diberitakan JawaPos.com, Rabu (4/7/2018).
Dalam pertimbangan hukum, imbuhnya, majelis hakim menyebut pihaknya tidak berhak menentukan keabsahan kepengurusan partai politik. Majelis menilai, keabsahan kepengurusan parpol ditentukan oleh mahkamah partai dan/atau peradilan umum sebagaimana diatur dalam Undang-undang Partai Politik (Parpol).
"Namun, anehnya, di amar putusan majelis hakim PTUN, justru mengabulkan gugatan penggugat. Itu artinya, Majelis Hakim PTUN ikut menentukan keabsahan kepengurusan parpol yang sebenarnya menjadi wewenang mahkamah partai politik menurut UU Parpol," tuturnya.
Dia menyatakan, kejanggalan lain adalah Majelis Hakim PTUN menempatkan Keputusan Hanura melakukan restrukturisasi, revitalisasi, dan reposisi terhadap posisi Sarifuddin Sudding sebagai Sekjen, sebagai produk dari Keputusan Forum Tertinggi Pengambilan Keputusan Partai Politik (FTPKPP) Hanura.
Padahal, dia menilai, restrukturisasi, revitalisasi, dan reposisi hanyalah perubahan pengurus pada tataran sekjen yang menurut AD, ART, dan PO cukup dilakukan dengan rapat pleno atau oleh ketua umum berdasarkan mandat rapimnas.
"Dan kalau ada penolakan dari sekurang-kurangnya 2/3 peserta Munas/Munaslub barulah Menkumham terkendala untuk memberikan pengesahan dan menunggu penyelesaian di Mahkamah Partai," jelasnya.
Lebih jauh, dia pun mengatakan kecewa karena SK yang digugat merupakan SK yang bersifat deklaratif absolut. Itu karena perubahan pengurus partai politik di tingkat pusat dilakukan pada jabatan Sekjen yang menurut AD/ART Partai Hanura hanya cukup dengan Rapat Pleno DPP atau di Hanura cukup dilakukan oleh ketua umum berdasarkan mandat rapimnas.