JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Proses persidangan etik terhadap sembilan hakim konstitusi terus berjalan. Satu per satu, berbagai fakta yang memperkuat dugaan putusan 90 tahun 2023 bermasalah muncul. Salah satunya, didapati dokumen perkara 90/2023 bermasalah.
Dalam persidangan lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan pelapor, Kamis (2/11), Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengaku mendapati dokumen perkara 90/2023 bermasalah. Sebab dalam berkas perbaikan yang diserahkan Almas Tsaqibbiru kepada panitera, tidak ditandatangani pemohon atau oleh kuasa hukum.
Keteledoran itu, dinilai Julius sebagai kejanggalan. Sebab MK adalah role model pemeriksaan persidangan yang begitu tertib dan disiplin dalam administrasi. Sehingga dokumen tanpa tandatangan mestinya terdeteksi tidak memenuhi.
“Kami mendapatkan satu catatan dokumen ini tidak pernah ditandatangan dan ini yang dipublikasikan secara resmi oleh MK melalui situsnya,” ujarnya, Kamis (2/11).
Baginya, kesalahan itu cukup fatal. Sebab tanpa tandatangan, berkas bisa dinyatakan tidak sah. Sehingga bisa dimaknai tidak pernah ada perbaikan. “Atau bahkan batal permohonannya,” ujarnya.
Julius berharap, MKMK dapat mencermati dugaan pelanggaran administrasi tersebut. Seperti diketahui, uji materi yang dilakukan sempat maju mundur. Pada 29 September, perkara sempat dicabut. Namun pada 30 September, perkara didaftarkan kembali.
Sementara itu, Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konsitusi (MKMK) Jimly Ashiddiqie mengaku sudah meminta klarifikasi perihal tidak ditandatanganinya berkas uji materi Almas pada hakim. Dari hasil klarifikasi diketaui jika saat diajukan memang tidak ada tandatangan.
Namun dalam sidang pendahuluan, itu sudah dilakukan perbaikan. “Nah, itu sudah diperbaiki. Ada itu, tapi banyak yang beredar di medsos itu dokumen yang awal, memang belum di tandatangani,” ujarnya, Kamis (2/11).
Meski demikian, Jimly tak menampik jika ada banyak masalah dari segi administrasi di MK. Jimly juga mengakui, selain persoalan sikap hakim, salah satu subjek yang dicermati adalah kepastian tata tertib administrasi perkara.
Selain yang dilaporkan pemohon, MKMK juga berupaya mencari bukti lainnya seperti melalui siaran CCTV. “CCTV yang berkaitan dengan penarikan permohonan dan pencabutan dan kemudian diajukan lagi,” ujarnya.
Dengan memeriksa CCTV, Jimly berharap bisa diketahui lebih detail kronologi dari posisi dokumen yang sempat dicabut tersebut. “Itu bagian dari persoalan manajemen registrasi dan persidangan,” imbuhnya.
Kamis (2/11), MKMK memeriksa tiga hakim konstitusi. Yakni Daniel Yusmic, Muhammad Guntur Hamzah, serta Wahiduddin Adams. Kepada media, ketiganya tidak banyak memberikan keterangan.
Ditemui usai pemeriksaan, Daniel mengaku hanya menceritakan berkaitan dengan persidangan dan proses yang berlangsung selama rapat permusyawaratan hakim. “Nanti hasilnya dari MKMK saja,” tuturnya.
Selanjutnya, hari ini MKMK akan kembali memeriksa Anwar Usman. Sebagai pihak yang paling banyak diadukan, pihaknya merasa perlu melakulan pemeriksaan lebih dari satu kali. Selain Anwar, MKMK hari ini juga akan meminta pendapat ke mantan hakim MK I Dewa Gede Palguna. Terlabih, Palguna juga mantan Ketua MKMK.
Sementara itu, Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara Petrus Selestinus mengatakan, begitu banyak pelanggaran yang dilakukan Ketua MK Anwar Usman. Karena itu, sebagai pelapor meminta ke MKMK untuk menyatakan perbuatan Anwar Usman sebagai pelanggaran kode etik berat. “Apalagi ada bukti autentik atas dugaan pelanggaran-pelanggaran itu,” paparnya.
Dengan begitu, diharapkan MKMK menjatuhkan sanksi berat berupa pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) terhadaP Ketua MK Anwar Usman. “Sanski PTDH itu tepat, apalagi masyarakat dan DPR mulai menggulirkan ancaman pemakzulan terhadap Presiden Jokowi,” ujarnya.
Menurutnya, setelah diputuskan pelanggaran kode etik, maka sesuai dengan Pasal 17 Ayat 6 Undang -Undang Nomor 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, putusan perkara nomor 90/ PUU-XXI/2023 harus dianggap tidak sah. “Ini perkataan UU, semua harus patuh,” jelasnya.
Dia mengatakan, sesuai Ayat 7 dalam UU yang sama diwajibkan untuk menyusun majelis hakim baru tanpa Anwar Usman dalam memproses kembali perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. “Proses harus diulang kembali dengan hakim yang tidak memiliki konflik kepentingan,” tegasnya.(far/idr/jpg)