Puasa Latihan Mengendalikan Kuasa

Petuah Ramadan | Rabu, 06 April 2022 - 10:27 WIB

Puasa Latihan Mengendalikan Kuasa
Muhammad Ikhsan Dosen Pascasarjana Universitas Riau (ISTIMEWA)

Kita sudah sering mendengar bahwa puasa (shaum) bermakna imsak dalam bahasa Arab yang artinya menahan.  Dalam pengertian yang lebih fleksibel, menahan juga bisa bermakna mengendalikan. Aslinya puasa itu menahan atau mengendalikan diri kita untuk tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hubungan seksual, dan tidak melakukan perbuatan tercela.  

Dengan menahan itu, kita merasakan lapar, haus, lemah, mengantuk, kurang asyik, dan tidak bisa melepas selera.  Makan, minum, dan berhubungan seksual bagi suami istri adalah barang yang halal di hari-hari biasa. Meskipun milik kita, hak kita, tetap tidak bisa


kita menikmatinya. Meskipun hanya dibatasi pada siang hari, tetapi pada malam hari tetap bisa makan, minum, dan berasyik dengan pasangan sahnya. Kita terbiasa menahannya selama 30 hari.

Saya melihat puasa ini cara yang luar biasa bagi Allah untuk mengajarkan kita supaya bisa mengendalikan nafsu kita.  Nafsu yang paling dasar adalah makan, minum, dan syahwat. Diharapkan dengan bisa mengendalikan nafsu dasar ini, maka nafsu-nafsu dan kehendak-kehendak lain bisa ditundukkan.  Apa saja nafsu yang lain itu? Kekuasaan dan wewenang adalah nafsu besar lain yang perlu pengendalian, kalau kita mau belajar dari puasa yang kita lakukan.

Kekuasaan adalah nafsu yang sangat besar pengaruhnya di dalam kehidupan kita. Karena itu, kalau tidak dikendalikan akan berakibat buruk pada banyak pihak.  Kekuasaan mulai dari yang kecil, seperti penguasaan kita terhadap diri kita, kekuasaan suami sebagai kepala keluarga, kekuasaan Ketua RT, kekuasaan direktur perusahaan, rektor perguruan tinggi, walikota, gubernur; sampai ke presiden, dan seterusnya harus dikendalikan.

Kita adalah penguasa atas diri kita.  Kita sanggup menahan kebutuhan esensial kita untuk tidak makan, tidak minum, bahkan tidak berhubungan dengan pasangan meskipun itu halal bagi kita.  Artinya kita sebetulnya mampu mengendalikan diri kita untuk hal-hal lainnya yang bahkan terlarang atau tidak baik untuk kita.  Pada keseharian kita, seharusnya kita mampu menahan diri untuk tidak menyia-nyiakan waktu kita, tidak menipu, tidak berbohong, tidak khianat terhadap amanah, dan tidak sewenang-wenang terhadap orang atau makhluk lain.

Dengan kekuasaan yang dimilikinya, seorang suami bisa saja melarang istrinya keluar rumah sepanjang waktu. Dia memiliki hak untuk itu.  Tetapi seorang suami yang baik, tentu saja memahami hak-hak istrinya untuk mendapatkan hiburan, beraktivitas sesama wanita, melakukan aktivitas sosial, mendapatkan pengetahuan, atau bahkan menambah pendapatan.

Seorang direktur perusahaan punya kuasa dan hak untuk hanya membayar gaji karyawannya sebatas upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Bahkan kalau ia bayar lebih rendah dari itupun, bisa jadi karyawannya tidak akan memprotes kalau sang direktur tangkas menjawab.  Tetapi ia menahan dirinya untuk tidak berlaku demikian, karena ia tahu ada hak karyawannya di dalam keuntungan perusahaan yang harus dibagikannya sebagai bonus dan lainnya.

Seorang kepala daerah memiliki kekuasaan yang luar biasa besar. Bisa memindahkan pegawai, memberikan sanksi, menutup usaha, memboikot sebuah produk, memenangkan perusahaan tertentu dalam sebuah tender, menentukan prioritas pembangunan, menentukan besaran anggaran pada sektor tertentu, sampai kepada menentukan "pendapatan" untuk dirinya sendiri.  Tentu seorang kepala daerah yang baik tidak semena-mena terhadap itu semua, kalau ia bisa mengendalikan dirinya.

Ia harus sanggup berpuasa dari melakukan hal-hal tadi, meskipun itu "halal" atau bisa dilakukannya.  Tidak mentang-mentang punya kuasa, semuanya mau diambil, semuanya mau diatur sesuai dengan kehendak kita meskipun melawan sistem.

Berpuasa seharusnya menyadarkan kita, bahwa kita sesungguhnya adalah lemah tanpa kuasa yang diberikan kepada kita. Melatih memposisikan diri kita sebagai orang yang lemah dan tidak berkuasa ketika kita lapar dan tidak bisa menggunakan kuasa kita.

Dengan demikian kita bisa merasakan empati sebagai orang tidak punya kuasa, tidak bisa melakukan apa-apa. Karena itu, apabila kita memiliki kuasa, harus digunakan dengan arif. Lebih bisa berpikir dan bertindak dengan merasakan apa yang bakal dirasakan oleh bawahan kita, anggota kita, atau rakyat kita.

Cara berperilaku seperti berpuasa ini –di mana meskipun kita memiliki kuasa, tetapi tetap kita kendalikan dan kita tahan untuk dijalankan hanya pada haknya-- harus dibawa terus di dalam kehidupan kita. Puasa latihan untuk merasa dan mengendalikan kuasa.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook