Catatan Hary B Koriun (Palembang)
DI tengah kesuksesan beberapa cabang olahraga (cabor) yang berhasil menyumbangkan medali emas untuk Indonesia, penyelenggaraan Asian Games 2018 di Palembang banyak kekurangan di sana-sini. Bukan hanya di arena tempat atlet bertanding, tetapi juga pada terlalu berlebihannya INASGOC (panitia penyelenggara) dalam menerapkan aturan.
Di beberapa arena di Palembang, pertandingan sering berhenti karena layar scoring macet dan error. Akibatnya, wasit sering harus berganti ke tulis tangan di kertas. Sementara scoring manual tidak disiapkan. Ini terjadi di cabor sepaktakraw dan tenis. Akibatnya, bukan hanya penonton yang kesulitan mendapatkan informasi berapa skor pertandingan, para pemain pun dibuat bingung.
Sementara itu dalam penyelenggaraan, panitia terlalu kaku dengan aturan yang dibuat. Di dua hari penyelenggaraan, panitia masih memperbolehkan kendaraan pribadi masuk ke kawasan Jakabaring Sport City (JSC). Namun sejak Ahad (19/8), kendaraan pribadi dilarang masuk tanpa alasan yang jelas. Yang boleh masuk hanya kendaraan berstiker yang dikeluarkan INASGOC.
Peraturan ini membuat media peliput yang membawa kendaraan pribadi tak bisa masuk ke JSC. Id-card yang dikeluarkan INASGOC untuk media juga tak berlaku untuk masuk dengan kendaraan pribadi. Para wartawan peliput kemudian meminta kepada penanggung jawab Media Center agar bisa mendapatkan stiker yang dimaksud, tetapi tak dikabulkan.
Alasannya, pihak Media Center sudah menyediakan bus khusus media untuk masuk ke JSC. Yang menjadi masalah, bus yang diperuntukkan bagi media hanya tiga buah, dan sekali 30 menit baru berjalan. Wartawan yang meliput jumlahnya lebih 300 orang. Sementara, jadwal pertandingan 10 cabor yang dimainkan di JSC juga tak bisa menunggu. Media Center sendiri letaknya berada di luar JSC, yakni di Gedung Dekranasda, sekitar 2 km dari JSC.
Masalah tak hanya sampai di sana. Saat sudah berada di dalam JSC, transportasi yang ada di dalam juga tak memadai. Bus-bus yang ada selain mengangkut atlet yang jumlahnya hampir 2000-an orang untuk bolitas ke arena, juga harus mengangkut para volunteer, petugas pertandingan (dari wasit sampai panitia), tenaga medis, wartawan, juga masyarakat umum yang akan menyaksikan pertandingan. Sering terjadi penumpukan manusia di pintu masuk yang menunggu kendaraan.
Hampir semua wartawan yang meliput di Palembang mengeluhkan kondisi ini. Mereka kesulitan dalam hal mobilitas dari satu arena ke arena lain. Maklumlah, jarak dari satu arena ke arena lain tak semuanya dekat yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Jarak terdekat adalah wisma atlet ke stadion tenis, GOR Ranau (takraw), dan sepakbola. Atau dari menembak ke voli pantai, yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Arena lainnya relatif berjauhan. Misalnya dari dayung ke tenis dan takraw, atau dari tenis dan takraw ke boling.
Yang paling kena imbas adalah wartawan televisi. Hampir semua media televisi membawa mobil khusus untuk laporan langsung dari arena. Tetapi karena kendaraan mereka tak bisa masuk JSC, mereka tak bisa melakukan laporan langsung pertandingan. Mereka yang hanya meliput juga kesusahan, karena biasanya mereka adalah tim liputan yang lebih dari satu orang.
“Aturan yang aneh. Kalau transportasinya lancar dan memadai nggak masalah. Lha ini semuanya serabutan,” kata Junaidi, reporter TvOne.
Wartawan asing juga mengalami kesulitan. Apalagi mereka yang datang per rombongan dan sudah menyewa kendaraan dari awal. Ismail Djeparov, wartawan Kantor Berita Uzbekistan, Fergana, merasakan hal itu. Dua hari penyelenggaraan, dia dan rekan-rekannya tak ada masalah dalam peliputan. Tapi setelah ada aturan kendaraan pribadi tak boleh masuk ke JSC, dia mulai merasakan kesusahan.
“Kalau seperti ini untuk apa kami menyewa kendaraan yang kami bayar dari awal selama Asian Games?” ujarnya kecewa.
Ketika Wakil Ketua INASGOC, Sjafrie Sjamsudin mengunjungi Media Center, persoalan ini sudah disampaikan. Dia berjanji akan mencarikan jalan keluar penyelesaiannya. Namun hingga hari ini peraturan tersebut masih juga berlaku.***