Perubahan susunan pemain saat melawan Korsel inilah yang dianggap
menjadi persoalan besar dari tersingkirnya Jerman. Saya setuju keputusan
Loew mencadangkan Thomas Mueller dan Draxler, tapi mestinya memberi
ruang kepada striker murni seperti Mario Gomez yang rajin berada di
kotak penalti. Ini berbeda dengan Timo Werner yang lebih sering berada
di sayap kiri. Nah, tak adanya sayap kiri murni ini juga menjadi problem
berat. Bila saja Loew membawa Sane, masalah bisa teratasi. Leow terlalu
yakin bahwa bek seperti Jonas Hector bisa berperan menjadi sayap kiri,
padahal beda psikologis seorang gelandang-sayap, sayap murni, atau
bek-sayap.
Di babak pertama, Jerman terlalu
lambat, tak langsung menekan, sementara Korsel bermain full power,
hampir selalu menang duel udara atau bola kedua setelah duel. Mereka
sering memotong alur umpan, dan kemudian melakukan serangan balik.
Padahal, dalam posisi Meksiko kalah 0-3 dari Swedia, kemenangan 1-0 saja
atas Korsel bisa membawa Jerman lolos menyingkan Meksiko.
Di
luar persoalan dua geng pemain senior, gap antara pemain muda dan tua
juga terjadi. Tudingan bahwa Loew tidak adil –dalam kasus Wagner dan
Sane— juga muncul dengan pilihannya terhadap Neuer yang langsung jadi
kiper utama dan kapten tim, padahal dia sudah tak bermain di Muenchen
sejak April 2017. Begitu sembuh, langsung jadi kiper utama dan kapten!
Loew tak memandang sedikit pun bagaimana Ter Stegen berjuang di Rusia di
Piala Konfederasi dengan membawa pulang trofi, plus hampir di semua
partai ujicoba. Di Rusia kali ini, Stegen tak semenit pun main. Bukan
hanya kelompok pemain muda, kelompok pemain imigran kabarnya juga protes
dengan hal ini.
Persoalan-persoalan internal
dari awal pembentukan tim hingga gap antara anak muda dan pemain senior
saat di Rusia, plus isu rasialis dalam tim ini tak bisa diselesaikan
oleh Leow. Padahal, dengan keberhasilan Jerman juara Piala Konfederasi
dengan skuat muda, banyak orang yakin telah terjadi alih generasi yang
baik di kubu Jerman. Namun, karena manajemen Loew gagal menanganinya,
yang terjadi justru menjadi manajemen konflik yang membawa Jerman pada
titik nadir.
Publik Jerman tak perlu marah
terhadap para pemain Korsel --yang banyak bermain di klub-klub Jerman--
seperti reaksi buruk publik Italia terhadap Ahn Jung-Hwan di Piala Dunia
2002 lalu. Sebab, meski tipis, Korsel sendiri masih punya peluang
lolos. Bayangkan, seandainya Swedia takluk di tangan Meksiko, dengan
kemenangan 2-0 itu bisa membawa Taeguk Warrior lolos ke 16 Besar.
Bukan
lawan yang menghancurkan Jerman. Sang juara bertahan sudah hancur dari
dalam. Meksiko dan Korsel hanya memanfaatkan kondisi itu, plus Swedia
yang nyaris membuat Jerman tersingkir lebih cepat sebelum gol telat
lewat tendangan bebas Kroos.
Kini, sepulang dari Rusia, yang harus
dilakukan federasi adalah melakukan investigasi pada semua rumor
tersebut. Jika terbukti, maka tidak ada cara lain selain melakukan
pemangkasan generasi (peremajaan), melakukan rekonsiliasi jika isu
rasial itu benar, mengganti pelatih, dan siap memulai dari bawah menuju
kematangan para pemain muda.***