HARY B KORIUN

Nafrel

Perca | Minggu, 10 Desember 2023 - 12:28 WIB

Nafrel
Hary B Koriun (RIAU POS)

FILIPINA menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang masyarakatnya harus berjuang untuk mendapatkan demokrasi dan kebebasan. Saat kekuasaan Ferdinand Marcos begitu kuat –periodenya hampir sama dengan Orde Baru di Indonesia atau Polpot di Kamboja--  di sana, masyarakat berada dalam ketakutan yang akut. Semua lini dikontrol oleh pemerintah diktaktor tersebut. Tak ada ruang bagi demokrasi dan kebebasan. Baik kebebasan berbicara maupun bertindak.

Ketika itu masyarakat terbelah menjadi dua: pro atau anti-Marcos. Jika pro-Marcos, maka mereka akan selamat dari intaian intel, tentara dan polisi. Tapi, jika anti, maka bersiaplah untuk hidup dalam penindasan, ancaman, penculikan, hilang malam, dan sebagainya. Banyak orang yang akhirnya memilih cari selamat, tetapi tak sedikit yang berada pada barisan melawan yang terus diburu karena dianggap pemberontak suversif. Tak banyak yang berusaha mencari jalan tengah.


Ketika Corazon Aquino berhasil mengalahkan Marcos dalam Pemilu 1986, Filipina mulai membangun dirinya memperbaiki yang dihancurkan oleh Marcos. Terutama kebebasan, hak asasi manusia,  dan demokrasi. Juga ekonomi dan semua lini lainnya seperti reformasi agraria, atau perbaikan lingkungan. Pada masa inilah harapan akan kebebasan dan demokrasi muncul. Banyak organisasi masyarakat atau LSM yang berdiri yang berusaha ikut membantu Aquino membangun negara.

Pada posisi ini, rongrongan dari para pendukung Marcos tetap ada. Kekerasan, penculikan, atau pembunuhan terus terjadi terhadap para aktivis dan politikus yang dilakukan oleh orang-orang Marcos yang bergerilya di bawah tanah. Banyak politisi di berbagai daerah yang ditemukan tewas atau diculik. Ini belum termasuk pemberontakan kalangan milisi Islam di Pulau Mindanao, Filipina bagian selatan.

Salah satu organisasi yang didirikan para aktivis adalah Filipina National Zitizen Movement for Free (Namfrel). Organisasi ini lahir di masa krisis yang diikuti  oleh pembunuhan atas pemimpin oposisi Benigno Aquino –suami Corazon—pada 21 Agustus 1983, saat pasukan pemerintah menggiringnya turun dari tangga pesawat yang membawanya pulang dari pembuangan.  Setelah kejadian itu, tuntutan dan teriakan agar Marcos turun berkumandang di jalan-jalan di seluruh kota besar di Filipina, termasuk yang terbesar di Manila.

Sejak Undang-Undang Darurat yang dicanangkan Marcos tahun 1972, itulah pertama kalinya rakyat dari berbagai lapisan berani secara terbuka melawan Marcos. Mereka marah dan sedih karena hal itu sudah dianggap keterlaluan. Lebih dari 2 juta rakyat menghadiri upacara pemakaman Benigno. Gerakan perlawanan rakyat itu terus dikumandangkan ketika janda Beniqno, Corazon, maju sebagai lawan politik baru Marcos. Di tahun 1986, tiga tahun setelah kematian suaminya, Corazon dengan lantang mengatakan bahwa Marcos curang dalam pemilu di tahun itu. Empat juta orang lebih datang saat Corazon melakukan orasi saat itu.

Nafrel lahir saat kecemasan melanda seluruh negeri. Jose Concepcion Jr maju memimpin 10 orang aktivis yang berkumpul di rumah Mariano Quesada pada sebuah malam setelah Beniqno terbunuh. Mereka terdiri dari ibu rumah tangga, pengacara, politisi, mahasiswa dan pemimpin persekutuan gereja, dan beberapa profesional di beberapa bidang. Mereka kemudian membuat kesimpulan bahwa Marcos tak akan mundur karena menyerahkan Istana Malacanang akan menjadi bunuh diri baginya. Kemudian, mereka juga yakin Marcos akan terus menggunakan tentara dan polisi untuk meredam protes rakyat yang terus terjadi, dan itu akan memperburuk suasana. Kesimpulan terakhir mereka adalah  penggunaan kekerasan  akan memaksa rakyat Filipina memilih tetap bertahan hidup dalam penindasan Marcos atau melarikan diri ke hutan dan bergabung dengan pemberontak kiri –yang selama ini juga melawan Marcos—yang menamakan dirinya New People’s Army (Angkatan Bersenjata Rakyat Baru) yang berhaluan komunis.

Dari awal, Nafrel meyakinkan masyarakat untuk mengembalikan kepercayaan rakyat pada proses pemilu untuk menggantikan pemerintah meski protes yang hiruk-pikuk di jalanan menuntut pendekatan yang lebih keras. Dalam pertemuan-pertemuan awal para anggota Nafrel itu tetap berupaya agar pemilu presiden dilakukan lebih awal ketimbang menggunakan kekerasan dan pemberontakan untuk menjatuhkan Marcos. Kepemimpinan nasional harus dilakukan dengan cara damai, dan itu harus diyakinkan pada rakyat. Namun Jose Concepcion tetap mengingatkan kelompok itu, jika pemilu terjadi kecurangan dan kelompok Marcos menggunakan segala cara untuk menang, maka  akan muncul tindakan kekerasan besar yang tidak akan bisa diperbaiki lagi.

Untuk itu, Nafrel harus bekerja keras meyakinkan rakyat Filipina bahwa jalan damai harus terus digaungkan ketimbang kekerasan jalanan seperti yang telah terjadi. Prosesnya harus dilakukan dengan sabar. Nafrel akan berusaha memberikan pendidikan politik kepada masyarakat tentang hak-hak mereka sebagai warga negara untuk memilih sendiri pemerintahnya. Mereka menganjurkan rakyat untuk tidak terprovokasi melakukan kekerasan dan terus mendengungkan bahwa Marcos akan bersedia menyelenggarakan pemilu yang bebas dan adil. Dan rakyat harus percaya itu.

Sayangnya, cara instan itu tak mampu membuka mata dan hati Marcos meski rakyat sudah percaya. Kecurangan Pemilu 1986 terjadi seperti yang dikatakan Corazon. Rakyat marah. Revolusi pun dikumandangkan untuk menurunkannya secara paksa. Dia bersama keluarganya kemudian melarikan diri ke Hawaai dan meninggal di sana.

Pada posisi itu, Nafrel merasa gagal. Namun, mereka tetap tumbuh dengan melakukan pendidikan politik di masa Corazon berkuasa. Hingga kini mereka terus meyakinkan masyarakat Filipina bahwa politik damai adalah cara yang harus terus dilakukan dengan meminimalisir kekerasan. Karena dengan kekerasan, gagal atau berhasil, akan selalu menimbulkan korban. Tetapi, revolusi tak pernah memikirkan korban yang ditimbulkan, karena kemenangan adalah segalanya.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook