Dengan komposisi seperti itu, Messi pun sering kehilangan bola.
Antoin Griezmann dan NGolo Kante bergantian mematikannya. Ini diperparah
dengan lini belakang yang rapuh dan gampang ditembus oleh Mbappe atau
yang lainnya. Duet Marcos Rojo dan Nicholas Otamendi juga rawan
melakukan pelanggaran seperti yang kemudian berujung gol penalti
Griezmann akibat pelanggaran Rojo terhadap Mbappe.
Lalu
bagaimana dengan Portugal? Secara permainan, statistik menjelaskan
bahwa tim asuhan Fernando Santos ini unggul segalanya atas Uruguay.
Tapi, pertahanan mereka dibunuh oleh dua gol Cavani melalu serangan
balik. Satu gol sundulan yang dicetak Pepe tak bisa menolong Argentina
agar tidak pulang lebih cepat.
Kemenangan
Uruguay terletak pada keuletan mereka saat bertahan. Duet Diego Godin
dan Jose Maria Gimenez di sentral pertahanan, tak memberi ruang kepada
Ronaldo untuk melakukan tendangan. Maklumlah, duet ini juga duet
pertahanan Atletico Madrid yang sudah sangat hapal bagaimana mematikan
Ronaldo di La Liga. Pemain-pemain seperti Nandez Acosta dan Martin
Caceres di sisi kanan dan Matias Vecino-Diego Laxalt di kiri, juga
bergantian mematikan Ronaldo ketika pemain Real Madrid itu merapat ke
sayap. Akibatnya Ronaldo menjadi terisolasi.Terputus dari
teman-temannya. Dan, premis bahwa Ronaldo dimatikan maka Portugal akan
kehilangan nyawanya, berlaku dalam pertandingan.
Para
gelandang Portugal bukannya tak melakukan upaya, baik menusuk dari dua
sayap dan tengah, maupun melakukan tendangan dari luar kotak. Tapi
hasilnya, kalau tak diblok kiper Fernando Muslera, ya kandas di kaki
Godin, Gimenez, dan pemain lainnya. Perbandingan penguasaan bola 67-33
persen menjelaskan bagaimana Portugal mengurung pertahanan Uruguay.
Kini,
setelah Jerman, Argentina, dan Portugal pulang pagi, kita masih
menunggu sepak-terjang para jagoan lain seperti Brazil, Spanyol, Belgia,
Kroasia, atau Inggris di pertandingan selanjutnya. Jika mereka akhirnya
juga karam di partai 16 Besar, maka Piala Dunia 2018 benar-benar penuh
kejutan.***