PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Kesejahteraan masyarakat di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonominya. Antara lain tercermin dari angka pertumbuhan ekonomi. Termasuk Provinsi Riau. Oleh karena itu, pembangunan di bidang ekonomi menjadi hal vital yang harus diprioritaskan.
PROVINSI Riau saat menempai posisi keenam tertinggi dalam aspek produk domestik regional bruto (PDRB) di Indonesia. Sebelumnya berada di urutan kelima nasional. Secara tahunan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Riau pernah tumbuh di atas 5 persen di era kejayaan minyak bumi tahun 2010- 2012. Namun setelah itu tidak pernah terulang lagi. Dalam beberapa tahun terakhir, perekonomian Riau hanya mampu tumbuh pada angka sekitar 2-3 persen.
Secara triwulanan, sepanjang 2019, BPS mencatat perekonomian Riau pada tiga triwulan pertama 2019 tumbuh pada kisaran 2,7-2,9 persen. Ini sudah sedikit meningkat dibandingkan 2018 yg hanya 2,3 persen. Namun, angka pertumbuhan tersebut masih jauh di bawah pertumbuhan historis Riau maupun nasional yang mencapai di atas 5 persen.
Kepala Kantor Bank Indonesia (BI) Riau Decymus memaparkan, melambatnya perekonomian di Riau disebabkan beberapa hal di luar kendali pemerintah. Seperti harga minyak dunia, perekonomian global yang juga berada dalam fase melambat. Belum lagi perang dagang yang belum menemui titik penyelesaian. Hampir seluruh engine ekonomi dunia mengalami perlambatan, mulai dari Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, Cina, hingga India.
"Perlambatan ekonomi global ini memukul ekspor Riau. Tren pertumbuhan ekspor Riau terus melambat sejak 2011. Pertumbuhan ekonomi global yang melambat pada 2019 juga menyebabkan terkontraksinya ekspor Riau hingga triwulan III. Sehingga berdampak langsung pada lambatnya pertumbuhan ekonomi," kata Decymus.
Selain itu, ujar Decymus, walaupun sudah menurun, sektor minyak dan gas (migas) masih merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam perekonomian Riau. Kendati demikian Decymus menuturkan, sektor tersebut tidak bisa terus-menerus diandalkan. Hal ini disebabkan persediaan migas yang semakin lama mengalami penurunan. Meskipun bisa diberikan tekanan ke perut bumi untuk mengeluarkan sisa-sisa minyak, tetapi hal tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit.
"Sektor migas tidak bisa diandalkan lagi. Tetapi sawit masih bisa. Selama ini kita sebagian besar masih ekspor produk mentah, padahal jika kita bisa mengekspor produk olahan akan didapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dan memberikan pengaruh signifikan terhadap perekonomian Riau," jelas Decymus.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Riau, hilirisasi sawit menjadi jalan untuk mempertahankan perekonomian dengan prinsip sinergi, transformasi dan inovasi.
"Tiada tantangan yang lebih relevan atas sektor gemuk ini selain hilirisasi," ujar Decymus.
Menurut Decymus, industri berbasis kelapa sawit Riau baru mampu menghasilkan 20 jenis produk turunan, sedangkan Malaysia sudah menghasilkan 147 produk turunan. Sehinga hilirisasi perlu didorong apalagi ekspor produk-produk final goods berbasis sawit tidak mengalami hambatan tarif maupun nontarif di pasar dunia seperti ekspor produk mentah.
Lebih lanjut, Decymus mengungkapkan belum berkembangnya produk olahan yang dihasilkan Riau bukan dikarenakan ketidaksanggupan daerah untuk mengembangkan lebih banyak produk olahan. Hal ini disebabkan hambatan berusaha yang menyebabkan investasi menjadi mahal dan membuat perusahaan-perusahaan enggan beralih ke produk olahan sawit. Selain itu, keterbatasan tenaga terampil juga menjadi masalah tersendiri, sehingga harus didatangkan dari provinsi lain.
"Saya tanyakan ke perusahaan-perusahaan besar. Ternyata jawaban mereka mahalnya investasi, kurangnya insfrastruktur serta sedikitnya dukungan dari otoritas lokal. Mereka membangun jalan malah dikenai pajak, mereka mengadakan genset karena rendahnya pasokan listrik juga dikenai pajak, begitu juga pajak air tanah," ucap Decymus.
Decymus menuturkan hilirisasi dapat dipercepat dengan meningkatkan kemudahan berusaha. Berbagai perizinan yang jumlahnya ratusan, 16 jenis pajak daerah, dan puluhan jenis retribusi daerah menjadi tantangan utama dalam upaya meningkatkan kemudahan berusaha. Selain itu, hambatan untuk memperluas usaha juga berasal dari Perda RTRW sejumlah kabupaten/kota yang masih struggling atau sedang dalam proses penyelesaian.
Selain sawit, juga terdapat sektor alternatif pertumbuhan ekonomi Riau. Seperti perdagangan, perikanan, real estate, usaha mikro kecil menengah (UMKM), ekonomi kreatif dan pariwisata. Sektor-sektor tersebut apabila dimaksimalkan juga akan memberikan dampak besar untuk pertumbuhan ekonomi Riau.
"Kita dapat melihat semakin maraknya pusat-pusat perbelanjaan di Riau. Di perikanan hasil tangkapan ikan melebihi 140 ribu ton per tahun, tapi masih sulit untuk memenuhi permintaan luar negeri karena mereka bergerak sendiri-sendiri dan tidak dihimpun. Dari real estate pertumbuhannya nyaris dua kali dari pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, UMKM kami perkirakan ada sekitar 167 ribu unit usaha yang potensial untuk digerakkan hanya saja ini banyak yang belum terdata. Kalau digerakan ke arah digitalisasi (e-commerce) bisa dipastikan akan sangat bagus. Belum lagi dari sektor pariwisata kita yang sudah terdengar sampai mancanaegara, seperti Bono, Istana Siak dan lain-lain," jelas Decymus.
Secara keseluruhan, Decymus mengatakan dengan berbagai peluang dan tantangan baik eksternal maupun lokal, BI Riau memperkirakanan pertumbuhan ekonomi Riau pada 2020 akan berada pada kisaran 2,5-3,0 persen. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan cenderung ke atas jika didukung pula oleh perbaikan enabling environment for growth atau lingkungan berusaha yang kondusif. “Kondisi global yang cenderung menjadi downside risk ekonomi kita harapkan bisa terkompensasi oleh faktor domestik yang cenderung menjadi upside potential, apalagi nanti dibantu oleh implementasi B30 dan persiapan B50, peningkatan enabling environment for growth, dan upaya bersama untuk menggerakkan berbagai sektor alternatif,” katanya.
Sementara itu Pengamat Ekonomi H Edyanus Herman Halim SE MS mengungkapkan, migas yang selama ini menjadi basis pertumbuhan terus terkoreksi secara berkelanjutan. Dampak dinamika ekonommi global juga mengakibatkan menurunnya permintaan produk-produk andalan eskpor Riau yang menyebabkan turunnya harga komoditas perkebunan di tingkat petani.
“Penurunan permintaan internasional terhadap minyak sawit menyebabkan turunnya harga komoditas perkebunan di tingkat petani. Akibatnya konsumsi rumah tangga menjadi melemah dan berakibat pada turunnya geliat disektor perdagangan dan jasa. Untung ada sektor lain yg berkembang seperti jasa kesehatan. Ini merupakan peluang baru bagi Riau untuk mendorong tumbuhnya usaha-usaha rakyat terkait dengan itu,” jelas Edyanus.
Menurut Edyanus, pemerintah harus berperan dalam mendorong terciptanya peluang usaha melalui pembangunan insfrastruktur yang strategis bagi perekonomian. Bukannya memberikan subsidi yang tidak berkeadilan bagi rakyat. Ia juga menuturkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) harus berfokus pada upaya menciptakan perekonomian yang berkualitas. Selain itu, Edyanus memaparkan, juga diperlukan keseragaman tindakan dan kebijakan antara provinsi dan kabupaten dalam pembangunan ekonomi.
“Akhir-akhir ini saya lihat tidak nampak ada motivasi dari pemerintah kepada dunia usaha dan rakyat melalui kebijakan-kebijakan jangka pendek dan menengah yang sinergis dengan faktor-faktor pendorong perekonomian yang lain atau stakeholder yang lain. APBD saja tanpa ada kesepakatan kebijakan umum APBD (KUA) dan prioritas plafon anggaran sementara (PPAS) sehingga tercermin tidak adanya singkronisasi antarlembaga dan keperluan-keperluan rakyat,” papar Edyanus.
Kendati demikian, Edyanus mengatakan pertumbuhan ekonomi Riau saat ini sudah cukup baik, tetapi masih diperlukan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya dinamika eknomi global adalah tantangan yang tidak mudah untuk diantisipasi, terlebih dengan kelemahan dalam kebijakan perekonomian daerah membuat sulit mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas. Edyanus berharap Gubernur Riau mampu mengoordinir para bupati agar memiliki kesamaan pandangan dalam penggunaan APBD guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ia menilai harus ada vocal point tertentu dalam menumbuhkan perekonomian yang dapat menyeret sektor lain dan harus ditangani secara holistik dan tepat sasaran.
Lebih lanjut, Edyanus berpendapat ratusan triliunan uang APBD habis untuk hal-hal yang tidak produktif dan berkesan hanya memberi hibah agar dinilai peduli rakyat. Menurutnya alokasi uang rakyat untuk pencitraan justru akan berkakibat fatal pada kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang.(*2)