PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia ( PSMTI) Pekanbaru bersama PSMTI Riau, Perwanti Pekanbaru dan Riau kembali mengadakan makan bakcang bersama dalam perayaan budaya festival Duan Wu Jie 2023.
Tak tanggung-tanggung, dalam festival makan kue cang bersama yang diselenggarakan di Sekretariat PSMTI Riau Jalan Setia Budi, Kecamatan Lima Puluh, Sabtu (23/6) menyuguhkan ratusan kue cang dan kue bakcang yang turut dihadiri warga Tionghoa di Pekanbaru serta Dewan Penasehat PSMTI Riau Syukur, Ketua Dewan Pakar PSMTI Riau Dr Nyoto SE SI Kom SH MM MIKom MH MMPd PhD, Ketua PSMTI Kota Pekanbaru Kamin, dan para Pengurus PSMTI Kota Pekanbaru, Pengurus PSMTI Riau, PSMTI Kampar dan anggota Perwanti PSMTI Riau.
Menurut Ketua Perwanti Kota Pekanbaru Yulisni, kegiatan makan bakcang bersama ini merupakan kali kedua pascapandemi yang kembali dilaksanakan guna melestarikan budaya Tionghoa.
Selain itu, festival makan kue cang kali ini juga menjadi agenda rutin Perwanti Riau dan PSMTI Pekanbaru serta PSMTI Riau setiap tahun untuk melestarikan budaya Tionghoa.
Dalam perayaan Duan Wu Jie sangat identik dengan makan kue cang yang terdiri dari bacang dan kicang. Makanan terbuat dari beras ketan serta dibungkus dengan daun bamboo.
”Jadi kue ini berbahan dasar beras ketan yang dibuat dengan isi dan tanpa isian. Kalau Kicang adalah kue ketan yang tanpa isi didalamnya dan dimakan dengan selai atau gula merah. Sedangkan bacang berisi daging halal dan nonhalal, bisa juga berupa vegetarian,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua PSMTI Pekanbaru Kamin mengatakan, dalam perayaan festival Duan Wu Jie 2023 ini panitia menyediakan sebanyak 100 bungkus kue kicang, dan 100 bungkus bakcang untuk melestarikan budaya Tionghoa.
Selain memiliki nilai budaya, kue cang memiliki nilai ekonomi, karena isi kue cang bisa dikreasikan atau disesuaikan dengan selera masyarakat. Tak hanya itu, kedepannya PSMTI Pekanbaru juga akan melestarikan budaya Tionghoa versi Indonesia, karena saat ini etnis Tionghoa bukan lagi menjadi warga Tiongkok melainkan Indonesia, sehingga sudah seharusnya kebudayaan Indonesia dilestarikan oleh semua kalangan termasuk etnis Tionghoa itu sendiri.
“Karena terbuat dari ketan, jadi kue ini bisa disesuaikan dengan lidah nusantara dan bisa menjadi daya tarik wisata kuliner bagi masyarakat di Kota Pekanbaru serta dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Kami juga akan mencari budaya Tionghoa yang versi Indonesia, sehingga kebudayaan ini bisa dilestarikan bersamaan,” tuturnya.
Wakil Ketua PSMTI Riau Bidang Seni dan Budaya, Leo Hady Hastomo menjelaskan filosofi Duan Wu Jie atau yang dikenal juga sebagai Dragon Boat Festival ini, merupakan salah satu perayaan penting dalam budaya Tionghoa. Perayaan jatuh pada tanggal 5 Mei penanggalan Imlek.
Perayaan berasal dari kisah seorang pejabat patriotik sekaligus seorang penyair yang bernama Qi Yuan sekitar 340 – 278 SM yang menenggelamkan dirinya ke Sungai Milou, karena kesedihannya yang mendalam atas hancurnya negeri Chu dan wafatnya kaisar yang memimpin negeri tersebut.
Sehingga membuat rakyat merasa sedih, dan kemudian mencari-cari jenazah sang menteri di sungai tersebut. Mereka lalu melemparkan nasi dan makanan lain ke dalam sungai dengan maksud agar ikan dan udang dalam sungai tersebut tidak mengganggu jenazah sang menteri.
Selain itu, untuk menghindari makanan dari naga dalam sungai tersebut maka mereka membungkusnya dengan daun-daunan yang kita kenal sebagai bakcang sekarang.
Kebiasaan mempersembahkan beras di dalam tempurung bambu diganti dengan kue dari beras ketan yang dibungkus daun bambu, yang di sini kita kenal dengan nama Kue Cang.
Dilaksanakannya perlombaan-perlombaan perahu yang dihiasi gambar-gambar naga, semuanya mengingatkan usaha mencari jenazah Qu Yuan, seorang pecinta tanah air dan rakyatnya.
“Kami berharap perayaan dapat melestarikan sekaligus mengenalkannya kepada generasi muda tentang salah satu budaya Tionghoa dengan mengerti cara membuat kue cang. Apalagi, Duan Wu Jie merupakan salah satu perayaan penting dalam budaya Tionghoa dan mempunyai makna cinta kebangsaan, “tuturnya.
Wakil Ketua Bidang Media, Ket Tjing menjelaskan, semua umat Tionghoa harus mengikuti keteladanan Qi Yuan yang memiliki karakter utama kesetiaan dan kecintaan kepada negerinya.
Keteladanan ini harus adaptasi di Indonesia agar lebih mencintai negeri Indonesia dan Kota Pekanbaru Riau dengan berperan semaksimalnya baik dalam lingkungan hidup, berkarya dan berbuat untuk masyarakat sesuai dengan kemampuan.
“Karena kita berada di PSMTI maka organisasi ini bisa kita jadikan landasan agar kita bisa meneladani semangat dan kecintaan terhadap tanah air dengan saling berkontribusi demi negari yang kita cintai ini,”katanya
Dewan Penasehat PSMTI Riau Syukur mengharapkan dalam melestarikan budaya Tionghoa ini harus difilter karena ada banyak budaya Tionghoa versi Indonesia yang harus dikembangkan dan dilestarikan.
“Semua orang Tionghoa ini kan berada di Indonesia jadi kita harus melestarikan budaya Tionghoa versi Indonesia dan bukan hanya versi Tiongkok saja karena kita hidup di Indonesia,” tuturnya.(ayi)