PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Polresta Pekanbaru memastikan kematian Fitria Yulisunarti (40), ASN yang ditemukan dalam kondisi leher terjerat dalam mobil terparkir di basemen Kantor DPRD Riau, Sabtu (10/9) lalu bukan dibunuh. Namun, pihak keluarga tidak terima dengan kesimpulan pihak kepolisian ini.
Menurut pihak keluarga, ada beberapa kejanggalan. Karena merasa belum puas, pihak keluarga pun meminta kasus ini tetap dilanjutkan. Hal itu disampaikan pengacara keluarga korban, Jon Kosneor, Sabtu (14/9). "Pihak keluarga ingin kasus ini dilanjutkan. Pada intinya keluarga tidak terima,"sebut Jon Kosneor.
Jon menyebutkan, bila keinginan keluarga belum berubah, maka dirinya segera menyusun langkah yang diperlukan agar kasus ini kembali dibuka. "Kalau tidak berubah keinginan keluarga, maka kita akan bicara soal autopsi ulang dan lain-lain. Yang jelas kita akan temui Irwasda, Polda, Irwasum, Polda, Komnas HAM, dan lain-lain,"ungkap Jon.
Jon yang dalam kasus ini didampingi rekannya R Hidayat, juga menerima kuasa dari Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Riau. Pihaknya akan terus berkoordinasi dengan dua pemberi kuasa tersebut sebelum mengambil langkah hukum selanjutnya terkait kasus ini.
Diberitakan sebelumnya, Kapolresta Pekanbaru Kombes Pol Pria Budi pada jumpa pers yang digelar Jumat (16/9) sore menyebutkan, korban tidak dibunuh. "Berdasarkan analisis CCTV dan saksi-saksi, kemudian setelah secara intens berkoordinasi dengan Ditkrimum (Polda Riau, red), rekomendasi gelar perkara bahwa berdasarkan alat bukti, keterangan saksi-saksi, ahli, surat, alat bukti petunjuk, maka belum ditemukan hal yang mendukung bahwa korban dibunuh,"ungkap Kapolresta, Jumat (16/9).
Didampingi Wakapolresta AKBP Henky Poerwanto, Kasat Reskrim Kompol Andrie Setiawan dan Kasubbid Yanmed Dokpol Biddokes Polda Riau Kompol Suprianto, Kapolresta Pekanbaru memastikan korban bunuh diri. "Jadi ini murni bunuh diri,"tambahnya.
Sementara itu, Kompol Suprianto menjelaskan, perspektif masyarakat banyak yang merasa tidak mungkin korban bunuh diri karena posisi tergantungnya di dalam mobil. Namun menurut dia, dari hasil pemeriksaan, kejadian itu adalah bunuh diri.
"Istilahnya dalam forensik itu adalah gantung diri tidak sempurna. Masyarakat mungkin jarang mendengar, tapi dari pengalaman saya menangani 400 kasus kematian, dengan sekitar 10 persen bunuh diri, dalam satu tahun itu ada 5-6 kasus seperti ini. Yaitu gantung diri setengah badan,"jelas Kompol Suprianto.
Ada perbedaan mendasar ketika seorang dijerat lehernya dan gantung diri. Hal itu, menurut Kompol Suprianto, terlihat dari pola bekas luka tumpul atau jeratan di leher korban. Dalam kasus Fitria, pola bekas luka tumpul di leher mengarah dari depan ke belakang atas.
"Berbeda dengan pola jika dibunuh, yang polanya melingkar di leher seperti ini,"tambah Kompol Suprianto sambil memperlihatkan foto-foto kasus korban pembunuhan dengan bekas luka di leher akibat dijerat tali.
Sementara itu, Kasat Reskrim Kompol Andrie menambahkan, selain luka tumpul di leher, tidak ditemukan luka lain yang berbahaya dan bisa menyebabkan kematian pada tubuh korban.
"Berdasarkan pemeriksaan, tidak ditemukan kekerasan yang lain atau luka yang membahayakan nyawa korban, selain luka tumpul di leher berbentuk perkamen di leher,"ungkap Kasat Reskrim.
Dalam kasus ini, sudah 28 saksi diperiksa, termasuk di dalamnya 15 saksi di antaranya merupakan tempat korban bekerja. Termasuk FH, orang yang dekat dengan korban. Lalu orang yang berkomunikasi dengan korban lewat WhatsApp, Ham dan juga anak korban sendiri.
Berdasarkan keterangan para saksi, terutama dari tiga nama di atas, penyidik berkesimpulan korban bunuh diri. Kepada F, yang merupakan suami sirinya, korban pernah beberapa kali mengancam akan bunuh diri.
Kemudian kepada Ham, korban mengirim foto hasil swafoto yang menurut Kompol Andrie mengarah pada keinginan bunuh diri. Begitu juga pesan terakhir kepada sang anak yang juga terindikasi demikian. "Korban ada chat menyampaikan minta maaf ke anaknya,"tambah Kompol Andrie.(das)
Laporan HENDRAWAN KARIMAN, Pekanbaru