PEKANBARU(RIAUPOS.CO)-Adanya Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1987 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Pekanbaru dan Kabupaten Daerah Tingkat II Kampar plus terbitnya Permendagri Nomor 18 tahun 2015 juga tentang hal sama menjadi perdebatan serius di kalangan legislator Pekanbaru.
Pasca keluarnya Permendagri ini tiga RW di Kelurahan Simapng Tiga Pekanbaru yang lebih dari 20 tahun lalu masuk wilayah Pekanbaru dan dinyatakan sebagai bagian dari Kabupaten Kampar.
Anggota Komisi I DPRD Kota Pekanbaru Ida Yulita Susanti kepada Riaupos.co, Senin (14/12/2015) menjelaskan terbitnya Permendagri 18/2015 dinilai cacat hukum. Dimana Pemko tanpa berjuang mengaku pasrah, dan minta masyarakat patuh dengan keputusan itu.
Semua i i kata Ida tidak benar, karena pemerintah dalam hal ini Tata Pemerintahan (Tapem) harus paham dahulu soal aturan dan undang-undang tidak bisa main pasrah saja, yang akhirnya dapat menimbulkan kekacauan dan keresahan di tengah masayrakat.
"Yang jelas produk hukum secara hirarki, kalau ada yang bertentangan antara yang dibawah dengan yang diatas berarti yang dibawah gugur secara otomatis," kata Ida.
Seperti, terbitnya Permendagri itu bertentangan dengan PP. Dimana PP itukan penjabaran teknis dari Undang-undang, dan seharusnya Permendagri itu menjabarkan kembali dari yang dilanjutkan kembali oleh PP. "Tapi ternyata ada perbedaan tapal batas, antara Permedagri dengan PP. Tentu secara otomatis Permendagri ini tidak berlaku gugur secara otomatis, dan cacat hukum,’’ tegasnya.
Secara hukum kata Ida keputusan itu tidak bisa dilaksanakan."Masyarakat bisa menggugat," sebut Politisi Golkar ini.
Untuk itu, Pemko diminta bekerja keras lagi.Mengingat apa disampaikan oleh Kabid Tapem Pemko Irma Novrita kepada media cuma bisa pasrah, bukan jawaban yang elegan.
"Pemerintah itukan perpanjangan tangan dari masyarakat. Masa sudah jelas dalam PP nomor 19 tahun 1987 milik Pekanbaru, lalu mau diserahkan begitu saja ke Kabupaten lain, tentu harus ada upaya untuk mempertahankan," tutur Ida.
Disarankan Ida, harusnya ketika ada perbedaan Permendagri dengan PP itu menjadi celah hukum untuk memperjuangkan hak masyarakat untuk kembali ke kota Pekanbaru.