PEKANBARU (RIAUPOS.CO) Pembangunan flyover Pasar Pagi Arengka memakan korban jiwa. Seorang pekerja tewas setelah terjatuh dari ketinggian saat memplester dinding flyover.
Dari informasi yang dirangkum Riau Pos, peristiwa naas itu terjadi pada 20 Desember 2018 lalu. Agus Andriansyah (20), nama korban. Dia berasal dari Sukabumi, Jawa Barat. Dia terjatuh dari ketinggian ketika bekerja memplester dinding flyover, namun tanpa alat pengaman (safety belt).
Kecelakaan kerja itu terjadi sekitar pukul 11.00 WIB. Saat terjatuh, korban mengalami luka parah. Kakinya tertancap besi. Kepalanya benjol-benjol. Agus tak sadarkan diri.
Korban pun langsung dilarikan ke Rumah Sakit Santa Maria oleh beberapa rekan kerjanya. Ia dirawat selama lima hari. Namun pada 25 Desember 2018, Agus menghembuskan napas terakhirnya. Kepala Bidang Jalan dan Jembatan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Riau Yunnan Haris membenarkan adanya kejadian tersebut. “Iya benar. Almarhum sudah dikebumikan di kampung halamannya di Sukabumi,” ujarnya, Rabu (9/1) petang.
Kecelakaan kerja itu, menurut Yunnan, tak terlepas dari kelalaian pekerja tersebut. Sebab, kata dia, saat kecelakaan terjadi, pekerja tidak menggunakan safety belt. “Sebelumnya sudah diingatkan, pakailah safety belt. Tapi nggak mau, karena ribet pakai safety belt itu kan,” sebutnya.
Akhirnya, terjadilah kecelakaan kerja itu. “Jadi dirawat selama hampir sepekan. Biaya rumah sakit sudah dibayar Rp14 juta oleh rekanan. Biaya pemberangkatan jenazah ke Sukabumi juga sudah dibayar Rp10 juta. Diantar nggak pakai ambulans, tapi naik pesawat,” sebutnya.
Yunnan menjelaskan, pekerja yang meninggal dunia tersebut, bukanlah karyawan PT Dewanto Cipta Pratama. Melainkan, adalah pekerja dari sub kontraktor dari PT Dewanto Cipta Pratama. “Pekerja tersebut adalah sub kontraktor, bukan rekanan langsung,” ujarnya.
Namun, PT Dewanto Cipta Pratama tetap bertanggung jawab atas kecelakaan kerja tersebut. Mulai dari biaya rumah sakit, biaya pengantaran jenazah, hingga santunan keluarga. “Pada dasarnya, rekanan bertanggung jawab,” kata Yunnan.
Informasi yang beredar di media sosial, istri korban menolak uang santunan Rp10 juta. Selain rendah, nilai tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Tenaga Kerja. Tapi Yunnan membantah hal tersebut. Menurut dia, pihak rekanan belum membayar santunan sama sekali. Sebab, rekanan bingung kepada siapa santunan itu akan diberikan.
“Yang jadi persoalan sebenarnya kan uang duka atau santunan. Santunan itu sampai saat ini belum diberikan. Kenapa belum diberikan? Rupanya, korban selama di sini (Pekanbaru, red), nikah dengan anak sini (orang Pekanbaru, red) tanpa ada surat nikah. Dia mengatakan istri, tapi apa buktinya?” kata Yunnan.
Rekanan pun tak mau memberikan santunan kepada yang mengaku sebagai istri korban, tanpa ada bukti yang sah. “Rekanan tidak mau pula mengasih tanpa ada bukti yang sah,” ujarnya.
Oleh karena itu, pihak kontraktor menanyakan perihal santunan ini ke keluarga korban di Sukabumi. “Jadi ditanya lah ke keluarga di sana. Apakah boleh dikasih ke istrinya di Pekanbaru ini. Karena keluarga di sana tak ingin ribut, ya dikasih lah,” ujarnya.