PEKANBARU (RIAUPOS.CO) Kebijakan Pemko Pekanbaru untuk menghapus tunjangan ganda bagi guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) menuai protes. Pemko diminta mengkaji ulang
HR, seorang guru PNS yang mengajar di salah satu SD negeri mengatkan, ia sudah bersertifikasi sejak 2012. Ia berharap bisa tetap mendapat tunjangan penambahan pendapatan (TPP).
“Awal 2018 dapat Rp1,6 juta (TPP, red). Kemudian turun jadi Rp850 ribu. Kami masih diam karena masih dapat. Lalu Oktober 2018 hingga Maret ini belum dapat. Kami tidak bisa diam begini saja. Intinya, kami ingin dapat TPP kembali, meski tidak penuh,” ujarnya, kemarin.
Guru lainya, YA juga berharap TPP tidak dihapus. Guru perempuan yang mengajar di SD dan sudah bersertifikasi ini tetap mendapat TPP, meski tidak penuh Rp1,6 juta.
“Yang penting tetap dapat TPP. Sebab ikut sertifikasi itu perlu perjuangan keras,” jelasnya.
Menanggapi kebijakan pemko ini, Dewan Pendidikan Provinsi Riau Fendri Jaswir meminta Pemko Pekanbaru mengkaji ulang kebijakan ini. Menurutnya, hal ini bisa memicu polemik yang mengakibatkan sekitar seribu guru akan melakukan aksi unjuk rasa guna menyuarakan tuntutan mereka.
“Dapat dipahami sebenarnya alasan pemko lakukan itu karena memang pemko punya kebijakan tidak bisa menerima pendapatan berlipat-lipat. Tapi dalam konteks dana sertifikasi ini perlu dikaji lagi,” kata Fendri, Senin (4/3).
Karena seperti diketahui, tunjangan sertifikasi guru sendiri diberikan oleh pemerintah pusat. Di mana, tidak dibayarkan dengan APBD, akan tetapi APBN.
“Sumbernya berbeda. Satu dari APBN, satunya APBD. Saya rasa tidak ada yang dilanggar,” ujarnya.
Fendri menjelaskan, banyak yang tidak mengetahui kenyataan di lapangan bahwa guru bersertifikasi harus memenuhi 24 jam tatap muka. Di mana, tidak semua guru bisa mencapai target tersebut.
“Dalam satu mata pelajaran ada lebih dari satu orang guru, sedangkan jam terbatas, sehingga guru sertifikasi tidak dapat penuhi 24 jam itu. Misal ada lima guru, mereka harus membagi waktunya, paling hanya tiga guru yang bisa memenuhi sertifikasi, nantinya gaji yang diperoleh harus dibagi. Kalau tidak berbagi tidak akan tercapai 24 jam tatap muka tersebut,” jelasnya.
Selain itu, yang menjadi protes guru lainnya ialah perbedaan gaji guru bersertifikat dan nonsertifikat yang dirasa tidak adil. Inilah yang melatarbelakangi protes keras sejumlah guru menolak kebijakan tersebut.
“Bayaran pun pertriwulan dan masih harus dibagi. Sedangkan yang nonsertifikasi tidak 24 jam tetapi mendapat gaji Rp3 juta. Di sini jatuhnya tidak adil,” tambahnya.
Menurut Fendri, pemerintah harus menjadi pertimbangan ulang sebelum memutuskan kebijakan tersebut. “Mungkin banyak pejabat yang belum tahu soal ini. Guru sertifikasi itu tidak semuanya dapat. Seperti itulah di lapangan. Jangan sampai masalah ini malah menganggu proses belajar mengajar siswa itu sendiri,” katanya.