Pengalaman menangani ganda dan tunggal di Jepang diyakini bakal membantu tugas Rionny Mainaky di Cipayung. Dari semasa bermain dia dikenal karena semangat juangnya yang tinggi.
Laporan JPG, Jakarta dan Surabaya
RIAUPOS.CO - Kaget sekali Marleve Mainaky mendengar kabar itu. Sang kakak Rionny Mainaky bakal pulang kampung. Bukan untuk sekadar liburan atau kangen-kangenan. Melainkan untuk seterusnya. Meninggalkan karir kepelatihan di Jepang. Untuk menjadi pelatih baru tunggal putri Indonesia di Pelatnas Cipayung.
”Terakhir kami ketemu (Januari lalu, red), dia nggak ngasih bocoran apa pun,” kata Marleve ketika dihubungi Jawa Pos (JPG).
Padahal, setahu Marleve, Jepang punya target besar di bulutangkis dalam Olimpiade 2020, di mana mereka jadi tuan rumah. Dan, sebagai pelatih yang turut berjasa mengembalikan kejayaan badminton Negeri Sakura itu, Rionny, di mata sang adik, tentu menjadi bagian penting persiapan tersebut.
”Saya bersyukur dia balik ke sini. Dia memang tipe orang yang suka tantangan,” kata Marleve yang juga pernah menangani tunggal putri pelatnas.
Tantangan, berat sekali bahkan, memang itulah yang akan dihadapi Rionny di Cipayung. Tunggal putri adalah sektor terlemah Indonesia. Sejak Maria Kristin merebut perunggu di Olimpiade 2008 Beijing, tak ada lagi prestasi mentereng yang dicatat sektor itu.
Gelar terakhir di nomor itu dalam BWF Tour direbut Fitriani pada Thailand Masters. Itu pun di level Super 300, hanya satu setrip di atas Super 100, level terbawah dalam rangkaian BWF Tour. Itulah gelar tunggal putri pertama Indonesia sejak Adriyanti Firdasari memenangi Indonesia Masters Grand Prix Gold pada 2014.
Per Selasa (19/3), Fitriani berada di peringkat ke-30. Hanya Gregoria Mariska Tunjung (posisi ke-15) yang masuk jajaran 16 besar dunia. Padahal, berada di 16 besar dunia adalah syarat untuk otomatis bisa merebut tiket otomatis Olimpiade 2020.
”Kami mulai satu per satu dulu. Disiplin itu yang paling susah,” kata Rionny yang saat ini masih berada di Jepang kepada JPG melalui aplikasi WhatsApp.
Kedisiplinan memang salah satu oleh-oleh yang akan dibawa Rionny dari Jepang ke Cipayung. Maklum, kiprahnya di Negeri Sakura yang dikenal dengan kedisiplinannya itu demikian panjang. Pelatih kelahiran Ternate, Maluku Utara, pada 11 Agustus 1966 tersebut hijrah ke Jepang pada 1992 saat masih aktif bermain. Awalnya tawaran bermain di Negeri Sakura itu tak begitu dia minati. Sebab, dia tak menguasai bahasanya. Tapi, akhirnya Rionny menerima tawaran tersebut.
”Saya kerja sambil main bulutangkis,” ujar pria yang mengawali karir di tunggal putra sebelum beralih ke ganda putra itu.
Rionny terlibat dalam pembentukan Liga Jepang dan bergabung dengan tim putra YKK Kyushu. Pada 2004–2008 Rionny sempat kembali ke Indonesia. Dia sempat menjadi pelatih kepala junior ganda putra dan putri. Juga menjadi asisten pelatih ganda putra.
Namun, pada 2009 Rionny balik ke Negeri Sakura. Kali ini dia menjadi pelatih klub Nihon Unisys. Setahun berselang, adik kandung pelatih ganda campuran pelatnas Richard Mainaky itu menjadi pelatih ganda putra timnas Jepang. Di tangannya Jepang berhasil menempatkan tiga pasangan di jajaran 15 besar dunia. Rionny, anak ketiga di antara tujuh bersaudara tersebut, adalah bagian dari dinasti Mainaky yang punya rekam jejak prestasi panjang di badminton. Dari tujuh bersaudara itu, hanya dua yang tidak menjadi atlet bulutangkis, Marinus (anak pertama) dan Valentina (anak keenam).
Rexy, anak keempat, bisa dibilang yang paling mentereng prestasinya. Merebut emas ganda putra Olimpiade 2006 di Atlanta. Juga sukses sebagai pelatih di Inggris, Malaysia, dan kini Thailand. Semasa dia menjabat kepala bidang pembinaan dan prestasi PBSI di era kepemimpinan Gita Wirjawan, Indonesia juga sukses merebut emas ganda campuran di Olimpiade 2016 di Rio melalui Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir.
Richard, anak kedua, juga dikenal bertangan dingin sebagai pelatih ganda campuran. Marleve juga cukup berprestasi semasa menjadi tunggal putra pelatnas. Karel, si bungsu, pun pernah menghuni pelatnas. Rionny mengungkapkan, keputusannya menerima tawaran PBSI tidak berlangsung sekejap. Melalui komunikasi intens dalam waktu yang tidak pendek. Pada setiap kejuaraan, dia selalu bertemu dengan rekan-rekan seperjuangan dulu di pelatnas, misalnya Susy Susanti dan Minarti Timur.
Dalam pembicaraan itu, mereka juga selalu mendiskusikan bulu tangkis Tanah Air. Terutama sektor tunggal putri.
”Sebenarnya sejak dua tahun lalu saya ada keinginan untuk pulang ke Indonesia, cuma gagal terus. Mungkin tahun ini sama Susy (Susanti) bisa, terus cocok ya,” kata ayah Lyanny Alessandra Mainaky dan Yehezkiel Fritz Mainaky tersebut.
Upaya memboyong Rionny ke Cipayung sebenarnya sudah berlangsung sejak era Gita Wirjawan masih menakhodai PBSI. Rionny juga sudah bertemu langsung dengan Rexy, sang adik. Tapi, konon jalannya terhalang karena Federasi Bulu Tangkis Jepang meminta ”mahar” mahal. Tapi, Rionny menepis kabar itu. Kebetulan pula kontraknya di Jepang berakhir setelah All England 2019 beberapa waktu lalu.
”Semua terjadi normal-normal saja. Buat Indonesia saya siap,” tegasnya.
Rionny baru akan mendarat di Indonesia akhir bulan ini. Dan akan langsung bekerja awal bulan depan. ”Programnya seperti apa, silakan datang dan lihat saja nanti,” imbuhnya.
Rionny tak menganggap perubahan melatih dari ganda putra ke tunggal putri akan menjadi persoalan. Apalagi, Indonesia dia nilai punya banyak stok pemain berbakat.
Bagi dia yang terpenting adalah menanamkan kedisiplinan dulu. Untuk itu, sebagai pelatih dia akan memberikan contoh.
”Atlet harus dibikin suka sampai mereka benar-benar ’gila’. Lama-lama, tanpa disuruh, pasti mau nambah latihan lagi,” tuturnya.(*/ttg/jpg)