LONDON (RIAUPOS.CO) - Partai puncak Euro 2020 tersaji di Stadion Wembley, London, Senin (12/7) dinihari nanti. (siaran langsung RCTI/iNews/ON Channel HD/Soccer Channel/Mola TV pukul 02.00 WIB). Kedua tim akan memanfaatkan momentum yang berbeda. Jika Inggris diuntungkan dengan status tuan rumah, maka Italia diuntungkan sejarah. Sebab, 11 Juli waktu setempat bertepatan dengan momen Gli Azzurri menjuarai Piala Dunia 1982 yang dihelat di Spanyol.
"Mungkin itu (kesamaan tanggal, red) pertanda baik. Aku yakin Gigio (Gianluigi Donnarumma, red) akan memberi Italia kado peringatan 11 Juli yang hebat. Dia baru 22 tahun, tetapi permainannya sangat matang. Bak veteran," ucap kiper Italia ketika juara Piala Dunia 1982 Dino Zoff seperti dilansir TUTTOmercatoWEB.
Prediksi Il Monumento –julukan Zoff– tidak berlebihan. Donnarumma memang moncer pada Euro kali ini. Dari enam laga, gawang jebolan akademi AC Milan itu hanya kebobolan tiga kali. Itu belum termasuk keberhasilannya menggagalkan eksekusi penalti striker Spanyol Alvaro Morata pada babak tos-tosan semifinal (7/7).
Jika dibandingkan dengan kiper Inggris Jordan Pickford, beberapa poin statistik Donnarumma juga lebih baik. Salah satunya, penyelamatan yang dilakukan di kotak penalti. Donnarumma mencatatkan lima kali penyelamatan. Sebaliknya, Pickford dengan satu penyelamatan lebih sedikit dari jumlah laga yang sama.
Ada satu lagi benefit bagi Donnarumma jika membawa Italia juara dini hari nanti selain tradisi tanggal 11 Juli. Yakni, Donnarumma akan tercatat sebagai kiper termuda yang memenangi Euro 2020. Usia Donnarumma dini hari nanti adalah 22 tahun 4 bulan 17 hari. Kebetulan, pada Piala Dunia 1982, Zoff juga mencatatkan rekor untuk kategori usia kiper. Bedanya, dia tercatat sebagai penjaga gawang tertua yang pernah memenangi Piala Dunia. Kala itu, Zoff berusia 40 tahun 4 bulan 13 hari.
Meski terbilang sangat muda, ternyata usia Donnarumma belum cukup untuk menjadikannya sebagai kiper termuda yang memenangi Euro. Sebab, ada kiper Spanyol Jose Angel Iribar yang membantu La Furia Roja kampiun edisi 1964. Kala itu, usia Iribar adalah 21 tahun 3 bulan 20 hari.
Sementara itu, kapten Inggris Harry Kane tak mau timnya dianggap beruntung bermain di depan pendukungnya sendiri. Apalagi, Inggris kali terakhir main dalam final turnamen mayor di Piala Dunia 1966. "Mengangkat trofi juara bagi Inggris, mimpi yang kami bangun sejak kami kecil, dan kami takkan menyia-nyiakannya," koar HurriKane, julukan Kane.
Conte Prediksi 90 Menit, Carra Adu Penalti
Nasionalisme dijunjung tinggi oleh Antonio Conte dan Jamie Carragher. Mereka memiliki suara hati untuk mendukung negara masing-masing jadi kampiun Euro kali ini. Bedanya, prediksi yang dilontarkan Conte jauh lebih mantap daripada Carragher.
Sebagaimana dilansir Football Italia, The Godfather –julukan Conte– optimistis Gli Azzurri bisa mempermalukan Inggris di Wembley Stadium, London. Alasannya, pemain Italia unggul pengalaman. Mantan pelatih Italia pada Euro 2016 itu merujuk kepada duet bek tengah veteran Giorgio Chiellini dan Leonardo Bonucci. Dua pemain itu sudah berkolaborasi dalam 325 laga di semua ajang. Baik di level klub maupun internasional.
Conte juga mengatakan bahwa kiprah Italia di sejak fase knockout lebih teruji daripada Inggris. Italia mengalahkan dua tim yang masuk bursa juara. Yakni, Belgia pada perempatfinal (3/7) dan Spanyol di semifinal empat hari berselang. Dua laga itu juga dijalani Italia di luar kandang. Masing-masing di Munchen, Jerman, dan London, Inggris.
Secara implisit, rentetan fakta itu membuat pelatih yang membawa Inter Milan scudetto musim lalu tersebut yakin bahwa Italia bisa menuntaskan perlawanan Inggris dalam waktu normal. Dia juga menyoroti taktik direct football Italia bisa membunuh Inggris.
Ya, pada Euro kali ini, tim asuhan Roberto Mancini itu memang tidak terlalu dominan di penguasaan bola. Dari enam laga, Italia rata-rata hanya membukukan 52,1 persen. Mereka juga kalah telak dari Spanyol dengan perbandingan 35 persen dan 65 persen penguasaan bola. Tetapi, Spanyol terbukti hanya mencetak satu gol dan harus keok. Untuk hal itu, Inggris memang sedikit unggul dari Italia dengan rata-rata 53,1 persen per laga.
"Inggris memiliki dua gelandang powerful pada Declan Rice dan Kalvin Phillips yang bisa menyeimbangkan permainan. Hanya, mereka sangat jarang melepaskan bola panjang yang bisa jadi handicap. Tetapi, kelemahan terbesar mereka adalah lini belakang yang kerap gugup jika mengalami pressing ketat sejak di pertahanan sendiri," ujar Conte.
Seolah merujuk prediksi Conte, Carragher berpendapat bahwa laga bakal berjalan ketat dan berujung adu penalti yang dimenangi Inggris. Salah satu penyebabnya, dua tim yang sama-sama lelah setelah semifinal yang semuanya melalui perpanjangan waktu. Hal itu membuat Inggris dan Italia bakal bermain rapi dan hati-hati pada laga dini hari nanti.
Pandit Sky itu yakin bahwa Inggris bisa pecah telur kalahkan Italia kali pertama di turnamen mayor. Dalam empat pertemuan sebelumnya, Three Lions selalu kalah. Yakni, di fase grup Piala Dunia 2014, perempat final Euro 2012, perebutan peringkat ketiga Piala Dunia 1990, dan fase grup Euro 1980. "Italia memiliki lini belakang yang sangat tangguh, Inggris juga (dengan baru kebobolan satu gol, red). Aku rasa laga berakhir 1-1 sebelum Inggris memenanginya di adu penalti. Final ideal," ucap Carragher.
Kesempatan Chiellini
Giorgio Chiellini hanya duduk manis di depan layar televisi ketika Italia mengangkat trofi Piala Dunia 2006. Trofi terakhir yang didapatkan salah satu negara besar dalam sepakbola itu. Chiellini yang ketika itu baru semusim berstatus penggawa Juventus masih terlalu muda untuk menjadi bagian Gli Azzurri, julukan Italia.
Usia Chiello, sapaan karib Chiellini, saat itu 22 tahun. Tenaganya lebih diperlukan timnas U-21 besutan Claudio Gentile. Lagi pula, sebagai bek kiri, dia belum selevel dengan nama-nama seperti Fabio Grosso atau Gianluca Zambrotta yang lebih senior. "Yang saya ingat sampai sekarang, momen Canna (sapaan akrab Fabio Cannavaro, kapten timnas Italia ketika itu) mengangkat trofi, sesuatu yang saya rindukan," kenang Chiello sebagaimana dikutip Corriere dello Sport.
Maklum, selain seniornya di Juve, Canna sosok yang kerap mengajarinya bermain sebagai bek. Bahkan, Canna juga sempat menyebut bahwa Chiello-lah yang kelak menjadi penerusnya di La Vecchia Signora, julukan Juve, dan timnas Italia. Benar. Bek 36 tahun tersebut menyandang status il capitano Italia di turnamen mayor, persis seperti Canna saat Piala Dunia 2006.
Chiello, meski sudah merasakan caps pertamanya pada 17 November 2004, baru bisa menjadi langganan timnas sejak uji coba melawan Afrika Selatan pada 17 Oktober 2007. Bermain sebagai bek tengah Italia baru dia rasakan di kualifikasi Euro 2008 menghadapi Kepulauan Faroe 21 November 2007.
Artinya, sudah hampir 14 tahun bek terbaik Serie A 2008–2010 itu ada dalam bagian sejarah timnas Italia. Namun, sepanjang 111 caps-nya berseragam biru-biru Italia, belum sekali pun dia merasakan momen seperti Canna: mengangkat trofi juara di turnamen mayor. Hampir merasakannya pada Euro 2012, impiannya kandas setelah dihancurkan Spanyol 0-4 di laga puncak.
Ironis, momentum terbaik Chiello untuk sekali saja merasakan hangatnya trofi juara Euro terjadi dalam pengujung kariernya sebagai penggawa timnas. Seperti diketahui, dia sempat disebut akan meninggalkan timnas setelah Euro 2020.
Chiello pun bakal memburu mimpi terakhirnya saat Italia menantang Inggris dalam final Euro 2020 di Wembley Stadium, London, dini hari nanti WIB. "Ini (menjuarai turnamen mayor) mimpi yang sudah bertahun-tahun kami tanamkan. Kini kami tinggal 1 sentimeter saja (dari gelar juara)," ucap Chiello dalam konferensi pers di Coverciano, Sabtu (10/7).
Kebetulan, kemarin tepat 15 tahun setelah momen Canna mengangkat trofi keempat Italia di Piala Dunia. Trofi juara Euro 2020 bakal membuatnya lebih tenang dalam menikmati akhir karier. "Anda akan lebih menikmati usia 37 tahun karena Anda tahu betapa susah mengejarnya," sambungnya.
Chiellini pun melempar psywar dengan menyebut jalan Inggris ke final lebih bisa diprediksi ketimbang skuad asuhan Roberto Mancini. Sebab, The Three Lions –julukan Inggris– di Euro kali ini memainkan enam di antara tujuh laga di Wembley Stadium. Satu laga lainnya dilakoni di Stadio Olimpico, Roma, saat perempatfinal. Tapi, bisakah beri kesempatan sekali saja untuk Chiello?
Berbicara kepada talkSPORT, mantan bek kanan timnas Inggris Danny Mills mengklaim, support system di lini tengah Italia yang digalang Marco Verratti, Nicolo Barella dan Jorginho belum teruji untuk laga besar. Ini terlihat dalam dua laga terakhir lawan Belgia (3/7) dan Spanyol (7/7).
Nah, Harry Kane dkk bisa meniru lini tengah Spanyol yang mampu bermain lebih mendominasi. La Furia Roja (julukan timnas Spanyol) ketika itu sukses membuat frustrasi Jorginho. Dengan begitu, penguasaan bola Italia pun anjlok total jadi 29,9 persen pada babak semifinal di Wembley Stadium.
Faktor Chelsea juga disebut-sebut berkaitan dengan prestasi Italia dalam ajang bergengsi antarnegara Eropa itu. Ingat saat Italia gagal merengkuh gelar juara dalam final Euro 2012, pada musim itu juga Chelsea membawa pulang Si Kuping Lebar (sebutan trofi juara Liga Champions) ke Stamford Bridge, London.
Chelsea pun mengulanginya musim ini. Apakah ini tandanya Italia juga kembali gigit jari dalam final Euro 2020? Verratti menyebut, ruang ganti Italia tak menginginkan akhir serupa dari Euro 2012 dini hari nanti WIB. Berbicara kepada laman resmi Federasi Sepakbola Italia (FIGC), gelandang Paris Saint-Germain (PSG) itu sudah memahami karakter gelandang Inggris.
"Mereka (gelandang-gelandang Inggris, red) bermain fisik dan teknis yang sangat baik. Lihat, mereka mampu membangun keseimbangan tim yang hebat. Faktanya, mereka hanya kebobolan satu gol dalam enam laga Euro. Terlebih mereka juga bermain di kandangnya sendiri," tuturnya. Apakah Italia kalah? "Tidak, kami bukanlah tim yang mudah menyerah, dan ini akan jadi malam terhebat kami," sambung Verratti. (ren/c19/fal/io/c7/bas/jpg)