ROMA (RIAUPOS.CO) – Paulo Dybala paham Juventus dan Inter Milan memiliki sejarah rivalitas panjang. Derby d’Italia, begitu sebutan untuk duel kedua tim yang dianggap setara dengan El Clasico (Real Madrid versus FC Barcelona) di Spanyol dan Le Classique (Paris Saint-Germain kontra Olympique Marseille) di Prancis.
Karena itu, seandainya Dybala benar memilih Inter setelah meninggalkan Juve akhir musim ini, konsekuensi besar bakal dihadapi striker Argentina berjuluk La Joya tersebut.
Skenario paling buruk adalah dicap pengkhianat oleh Juventini (sebutan pendukung Juventus) dan sulit diterima sebagai pemain kesayangan Interisti (sebutan pendukung Inter).
Final Coppa Italia antara Juve versus Inter di Stadio Olimpico, Roma, dini hari nanti (siaran langsung TVRI Nasional/UseeSports/UseeTV GO/Vidio pukul 02.00 WIB) tak pelak menghadirkan dilema bagi Dybala.
Di satu sisi, Dybala ingin memberikan trofi perpisahan bagi Bianconeri (sebutan Juventus). Tetapi, di sisi lain, striker 28 tahun itu tidak ingin dicap biang keladi kegagalan Inter merasakan juara Coppa Italia kali pertama sejak 11 tahun silam.
Jika dia ”mengalah”, Juventini tentu bakal melabelinya sebagai pemain busuk. Apalagi, besar kemungkinan statusnya dini hari nanti il capitano seiring kapten Juve Giorgio Chiellini bukan lagi pilihan reguler musim ini.
Dybala diklaim rela menolak tawaran beberapa klub top Eropa lain hanya untuk bisa berkostum Inter musim depan. Pemicunya, Dybala ingin bereuni dengan Beppe Marotta, CEO Inter yang mantan petinggi Juve. Marotta adalah pria yang mendatangkannya ke Juve dari Palermo FC pada 2015 dan membuat nama Dybala kemudian melambung.
”Tidak ada pengkhianatan dalam sepak bola yang saat ini sudah bersifat industri. Bagi pemain asli Italia, sentimen tersebut mungkin masih berlaku. Tetapi, bagi stranieri (pemain asing, red), perkembangan karier adalah prioritas dan semoga Dybala bisa mendapat yang terbaik setelah ini,” bela bintang Juve era 1970-an dan 1980-an Marco Tardelli seperti dilansir Football Italia.
Hanya, pembelaan Tardelli tidak sepenuhnya benar. Kasus yang dialami bek Stefan de Vrij pada musim panas 2018 menjadi contohnya. Kala itu De Vrij meninggalkan SS Lazio untuk bergabung dengan Inter secara gratis.
Nah, kabar kepindahan De Vrij muncul sesaat sebelum giornata pemungkas Serie A antara Lazio melawan Inter. Laga tersebut krusial karena menentukan siapa yang berhak finis di peringkat keempat. Sebelum laga atau hingga giornata ke-37, Lazio unggul 3 poin (72-69) atas Inter.
Tetapi, jika menang pada laga yang digelar di Stadio Olimpico tersebut, Nerazzurri berhak menggeser Lazio lantaran unggul head-to-head poin. Pada pertemuan pertama di kandang Inter, laga berakhir 0-0.
Laga berjalan keras dan mendebarkan. Wasit Gianluca Rocchi sampai mengeluarkan 9 kartu kuning dan 2 kartu merah. La Muraglia –julukan De Vrij– menjadi sorotan karena ditengarai ”mengalah” sehingga bek asal Belanda itu bisa bermain di Liga Champions musim depan bersama Inter.
De Vrij dianggap menghadiahi Inter penalti ketika melanggar Mauro Icardi pada menit ke-78 yang berhasil membuat skor 2-2. Tiga menit berselang, Inter mencetak gol ketiga via Matias Vecino.
”Pada malam sebelum laga, aku sebenarnya sudah meminta klub (Lazio, red) untuk tidak dimainkan karena aku tidak nyaman dengan situasi yang terjadi.”
”Tetapi, klub ingin aku main. Aku tetap profesional dan semua orang yang mengenalku tahu bagaimana situasi yang terjadi,” klaim De Vrij tentang insiden empat tahun silam kepada ESPN.(io/c19/dns/jpg)
Sumber: Jawa Pos
Editor: Edwar Yaman