JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pemerintah terus mematangkan skema pungutan Dana Ketahanan Energi (DKE). Rencananya, pada hari ini Kementerian ESDM akan menggelar rapat bersama Kementerian Keuangan di Kemenko Perekonomian. Banyak yang akan dibahas, salah satunya soal mempersiapkan perangkat hukum yang lebih rinci untuk melakukan pungutan.
Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, masih ada waktu yang cukup untuk mematangkan rencana itu. Ia meyakinkan kalau dalam rapat itu akan menghasilkan yang terbaik. Apalagi, selama ini dia sudah mendengar berbagai masukan soal DKE.
’’Yakinlah, pemerintah tidak akan sembrono memungut sesuatu tanpa ada pertanggungjawabaannya,’’ kata Sudirman.
Selain itu, pihaknya juga mematangkan opsi memungut DKE dari penjualan bahan bakar minyak (BBM) seri pertamax. Selama ini, pernyataan resmi pemerintah baru menyebut besaran pungutan Rp200 per liter untuk premium dan Rp300 per liter untuk solar.
Tapi, rupanya bukan premium dan solar saja yang bakal dikenai pungutan. Sebab, BBM lain seri pertamax seperti pertamax plus, pertamina dex, maupun yang SPBU swasta juga dikenai pungutan. ’’Prinsipnya, semua bahan bakar dari fosil akan dikenai DKE,’’ jelasnya.
Menurut Sudirman, filosofi dari pelaksanaan pungutan DKE adalah bahwa generasi saat ini berutang kepada generasi mendatang, karena sudah menguras cadangan energi fosil yang tidak terbarukan. Karena itu, tiap menggunakan energi fosil, maka generasi sekarang harus menyisihkan sebagian dana yang akan digunakan untuk mengembangkan energi terbarukan agar bisa dinikmati generasi mendatang. ’’Pesan moralnya, kita masyarakat kelas menengah (yang mengonsumsi BBM, red) kalau menyumbang Rp 200 per liter kan tidak masalah,’’’ ucapnya.
Berdasar estimasi Kementerian ESDM, potensi DKE yang bisa dikumpulkan per tahun berkisar Rp15 triliun. Itu berasal dari pungutan Rp300 per liter untuk solar yang konsumsinya tahun depan diperkirakan 16 juta kiloliter, serta Rp200 per liter untuk premium dan bahan bakar tertentu lainnya seperti pertamax cs yang konsumsinya diperkirakan 51 juta kiloliter.
Sudirman mengakui, pemerintah mengapresiasi banyaknya masukan baik dari DPR, pengamat, maupun publik dalam rencana pungutan DKE. Dia menyebut, pemerintah mempertimbangkan semua masukan sehingga lebih berhati-hati dalam penerapan kebijakan. Sebab, hingga saat ini pun mekanisme pengelolaan DKE masih dimatangkan. "Besok (hari ini, red) kami rapat lagi di Kantor Menko (Perekonomian, red) untuk putuskan soal ini," katanya.
Dalam penerapan kebijakan DKE, pemerintah memang harus ekstra hati-hati karena menyangkut uang rakyat yang nilainya triliunan rupiah. Apalagi, kritik pedas sudah dilontarkan Komisi VII DPR yang membidangi sektor energi karena pemerintah dinilai terlalu tergesa-gesa dalam penerapan DKE.
Namun, Sudirman mengklaim jika kebijakan pungutan DKE sebenarnya sudah lama dikomunikasikan dengan Komisi VII DPR. Ia menyebut, saat dipresentasikan di forum rapat kerja dengan Komisi VII DPR, konsep pungutan DKE sudah disetujui. ’’Bahkan ketika itu disepakati jika harga minyak (dunia) rendah, Rp1000 (per liter dari BBM) bisa dialokasikan untuk dana ini (DKE, red),’’ ucapnya.
Karena itu, lanjut Sudirman, pemerintah akan segera berkomunikasi usai DPR yang saat ini reses kembali masuk dalam masa sidang mulai 11 Januari 2016 mendatang. Padahal, pungutan DKE rencananya bakal diberlakukan seiring penurunan harga BBM pada 5 Januari mendatang.
Ketika ditanya lebih lanjut apakah pungutan DKE akan tetap dijalankan tanpa persetujuan DPR terlebih dahulu, Sudirman enggan menjawab dengan tegas. Menurut dia, secara prinsip pungutan DKE sudah disetujui di forum sidang kabinet, namun detil mekanismenya masih harus dimatangkan.
Lalu, apakah pungutan DKE bakal diundur dari rencana 5 Januari 2016 karena belum mendapat lampu hijau dari DPR? ’’Itu bagian yang akan dibahas dalam rapat besok (hari ini, red),’’ ucap Sudirman sambil tersenyum.
Jika pungutan DKE diundur, maka penurunan harga premium dan solar akan lebih besar. Misalnya, harga premium di Jawa Madura Bali (Jamali) yang rencananya turun dari Rp 7.400 per liter menjadi Rp 7.250 per liter, akan turun lagi menjadi Rp 7.050 per liter. Adapun harga premium di luar Jamali turun dari saat ini Rp7.300 per liter menjadi Rp6.950 per liter. Demikian pula solar yang rencananya turun dari Rp6.700 per liter menjadi Rp5.950 per liter, akan turun lagi menjadi Rp 5.650 per liter.
Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro mengatakan, sampai saat ini pertamax series tidak termasuk yang dipungut untuk DKE. Sebab, keduanya tidak termasuk dalam bahan bakar subsidi atau penugasan. ’’Tapi, tunggu dari pemerintah untuk mematangkan konsep terlebih dahulu,’’ tuturnya.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengaungkapkan bahwan rencana pemerintah memungut dana ketahanan energi pada masyarakat Rp200 per liter harga bahan bakar minyak (BBM) dianggap tidak jelas dasar hukumnya dan berpotensi disalahgunakan.
”Pungutan dana energi tersebut tidak jelas dasar regulasinya. Bahkan, telah terjadi penyimpangan regulasi karena yang disebut dalam Undang-Undang adalah depletion premium, bukan memungut dana dari masyarakat,” ujarnya di Jakarta, Selasa (29/12).
Tulus menilai bila pemerintah tetap memaksakan pungutan dana ketahanan energi bisa dikatakan sebagai pungutan liar kepada masyarakat karena tidak pernah diatur dalam Undang-Undang.
Dia juga menilai dana ketahanan energi tersebut juga berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan kebijakan nonenergi, bahkan kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan ketahanan energi karena lembaga yang mengelola dana tersebut tidak jelas. ”Bila masih disatukan dengan dana APBN secara umum, maka potensi penyalahgunaannya sangat besar,” tambahnya.(owi/dee/jpg)
Namun, dia berpendapat disinsentif dalam penggunaan energi fosil secara filosofi adalah hal yang rasional. ”Tetapi, itu baru bisa diterapkan bila masyarakat sudah ada pilihan untuk menggunakan energi nonfosil atau energi baru terbarukan,” tuturnya.
Karena itu, sebelum menetapkan pungutan dana ketahanan energi, pemerintah harus memperjelas terlebih dahulu regulasi yang akan dijadikan acuan dan lembaga independen yang akan mengelola dana tersebut serta peta ajalan ketahanan energi dan kedaulatan energi nasional.
”Yang terpenting, harus ada pilihan lain selain energi fosil. Sebelum hal itu bisa terpenuhi, maka pungutan dana ketahanan energi harus dibatalkan. Jangan membebani masyarakat dengan kebijakan yang belum jelas,” jelasnya. (owi/dim/dee/jpg)