JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Anggota MPR RI sekaligus Wakil Ketua DPD RI, Nono Sampono menyebut Indonesia merupakan negara meritim terbesar di dunia dengan bentangan laut bertabur lebih kurang 17.500 pulau dari Sabang sampai Merauke.
Meski dijuluki sebagai negara maritim, Nono melihat Indonesia masih sangat lemah soal kedaulatan. Terutama dalam masalah keamanan dan ekonomi.
"Ada masalah kemaritiman kita ini dan bukan hanya bicara pertahanan dan keamanan. Tapi ekonomi juga," kata Nono dalam diskusi empat pilar dengan tema "Meneguhkan Kedaulatan Maritim NKRI" di Media Center MPR/DPR RI Senayan Jakarta, Senin (27/9/2021).
Nono menyebut, di negara maritim memang harus memeiliki kekuatan dan kewaspadaan yang maksimal. Karena banyak kepentingan yang harus di jaga demi kedaulatan. Ia mencontoh misalnya Amerika, seperti apa kekuatan maritimnya.
"Karena ada kepentingannya di situ. Kita lihat Inggris, kita lihat Rusia, kita lihat Perancis, Jerman, Australia tidak pernah mengabaikan persoalan maritim mereka," ucapnya.
Lebih lanjut, Nono menyebut Indonesia belum mampu memamfaatkan sebagai negara maritim untuk meningkatkan kesejahteraan secara ekonomi. Jika di lihat dari pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia masih di bawah 22 persen. Sementara negara Asia lain seperti Korea Selatan, Vietnam dan Thailand hampir 40 persen.
"Bayangkan, kita sandingkan dengan negara-negara lain, Korea Selatan, Vietnam dan Thailand hampir 40 persen. Jepang 54 persen, China negara daratan, benua dia memiliki 48,6 persen dari pendapatan domestik bruto. Padahal ini negara continental ini. Dia bisa kasih makan rakyatnya 1 miliar kebih itu," jelasnya.
"Kontribusinya dari aspek lautan hampir 50 persen, karena di laut bukan hanya ada ikan, di dasar laut ada emas, ada tambang ada segala macam, ada jasa kelautan, ada industri kelautan dan seterusnya," sambungnya.
Kata dia, satu hal yang membuat Indonesia tidak sejahtera karena belum mampu berdaulat maritim dan sering kelolosan oleh negara luar.
"Satu hal yang menurut catatan kita, laut kita ini sering dan masih dimanfaatkan oleh pihak lain atau negara lain. Artinya kita punya laut tetapi orang lain lebih banyak memanfaatkan, karena kita mengabaikan angka 22 persen, itu menggambarkan itu," pungkasnya.
Laporan: Yusnir (Jakarta)
Editor: Hary B Koriun