HRS Bacakan Eksepsi, Wartawan Dilarang Masuk

Nasional | Sabtu, 27 Maret 2021 - 12:00 WIB

HRS Bacakan Eksepsi, Wartawan Dilarang Masuk
Petugas kepolisian mengamankan massa aksi saat berlangsungnya sidang lanjutan kasus pelanggaran protokol kesehatan dengan terdakwa Habib Rizieq Syihab di depan Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jakarta, Jumat (26/3/2021). (SALMAN TOYIBI/JPG)

JAKARTA, (RIAUPOS.CO) - Habib Rizeq Syihab (HRS) akhirnya menjalani sidang offline di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, kemarin (26/3). Simpatisan HRS pun datang memberikan dukungan kepada sang imam besar. Kuasa Hukum HRS Azis Yanuar merespons puluhan simpatisan HRS yang datang tersebut. Dia menyebutkan tidak berhak melarang simpatisan HRS hadir di pengadilan.

"Bukan kapasitas saya (melarang simpatisan HRS, red). Itu kewenangan kepolisian serta pengamanan dari pengadilan," kata Azis usai persidangan HRS.


Di sisi lain, Azis merasakan keberatan lantaran awak media tidak diizinkan masuk untuk mengikuti persidangan. Pria kelahiran Jakarta, 7 Januari 1983 itu mengaku menyampaikan keberatan kepada majelis hakim.

"Kami protes juga atas tindakan (hakim melarang, red) jurnalis," lanjutnya.

Azis menyebutkan terkait awak media, hakim menyerahkan kepada bagian humas Pengadilan Negeri Jakarta Timur. "Silakan hubungi humas," kata Azis menirukan ucapan majelis hakim.

Sementara itu HRS mengaku kecewa saat dirinya berobat dengan dana pribadi, justru malah dikriminalisasi. Kekecewaannya semakin menjadi ketika dirinya dan pihak Rumah Sakit Ummi, mulai dari Dirut hingga satpam malah difitnah dengan berita bohong.

"Saya dan menantu saya Habib Muhammad Hanif Alatas dan Dirut RS Ummi Andi Tata dijadikan tersangka atas laporan Bima Arya atau pegawainya," ujarnya dalam sidang pembacaan eksepsi, Jumat (26/3).

HRS menambahkan, tuntutan itu tetap dilakukan Bima Arya meski dirinya berjanji mencabut laporan tersebut. Terlebih, ketika janji itu diklaimnya diungkapkan di depan habib dan ulama Kota Bogor.

"Tapi faktanya Wali Kota Bogor Bima Arya telah bohong dan khianat terhadap habib dan ulama," jelasnya.

Menurutnya, hal itu jelas merupakan kejahatan Wali Kota Bogor bersama kepolisian dan kejaksaan. Khususnya menyangkut kriminalisasi terhadap pasien, dokter dan rumah sakit.

"Jika saya merahasiakan hasil pemeriksaan saya, karena memang pasien dilindungi UU Kesehatan," katanya.

Alih-alih memeriksa dan menahan dirinya, HRS mengatakan, semestinya kepolisian dan kejaksaan bisa memproses para pejabat yang menyebarkan berita bohong. Secara khusus, dia menyebut beberapa pejabat yang nyata menimbulkan keonaran serta kedaruratan kesehatan masyarakat. Di antaranya adalah Menko Polhukam Mahfud MD yang ia sebut membohongi masyarakat jika berolahraga cukup bisa menghadapi Covid-19.

"Kedua, Menko Maritim Luhut membohongi masyarakat bahwa virus corona tidak kuat dengan cuaca Indonesia. Lalu Menko Perekonomian RI Airlangga membohongi masyarakat bahwa corona tidak akan masuk Indonesia. Dan mantan Menkes RI Terawan membohongi masyarakat bahwa orang sehat hadapi Covid," tuturnya.

Sidang Disarankan Virtual

Di sisi lain persidangan HRS disarankan kembali digelar secara virtual atau online. Sebab ketika sidang digelar secara offline, massa pendukung HRS membuat kericuhan di luar gedung Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jumat (26/3).

Polisi mengamankan sejumlah simpatisan HRS karena dinilai memprovokasi dan mengganggu jalannya sidang. Beberapa orang memaksa masuk gedung pengadilan hingga berujung perdebatan dengan polisi. Kerumunan pun tak bisa dihindari.
"Keputusan awal untuk mengadakan sidang secara online sudah pasti mempertimbangkan hal-hal seperti ini, dan nyatanya kejadian," kata Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni kepada wartawan, Jumat (26/3).

Sidang kasus HRS sempat digelar secara virtual untuk menghindari kerumunan di masa pandemi. Kubu HRS protes. Majelis hakim akhirnya mengabulkan keinginan HRS dan kuasa hukum agar sidang secara offline. Artinya, HRS hadir langsung di ruang pengadilan.

"Namun ternyata memang berakhir rusuh, sehingga saya rasa tidak ada lagi alasan untuk menggelar sidang secara offline," tegas Sahroni.

Setelah Dua Bulan, Umumkan Terlapor Kasus FPI Tewas

Polri dinilai perlu lebih terbuka dalam penanganan kasus tewasnya enam laskar FPI. Hal itu dikarenakan Korps Bhayangkara baru mengumumkan tewasnya satu terlapor oknum Polda Metro Jaya, Jumat (26/3). Padahal, terlapor kasus penembakan empat laskar FPI itu meninggal dunia 4 Januari lalu karena kecelakaan tunggal.

Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Rusdi Hartono menjelaskan, diinformasikan bahwa dari tiga terlapor kasus penembakan empat laskar FPI, satu di antaranya berinisial EPJ meninggal dunia pada 4 Januari 2021 sekitar pukul 24.55 WIB.  "Kecelakaan tunggal terjadi 23.45," tuturnya.

Kecelakaan tersebut terjadi di Jalan Bukit Jaya, Setu Kota, Tangerang Selatan. Menurutnya, kendati satu di antara tiga terlapor meninggal dunia, kasus tetap berlanjut.

"Masih proses penyidikan," paparnya dalam konferensi pers kemarin.

Mengapa meninggalnya terlapor baru diumumkan selang hampir tiga bulan? Dia menjelaskan bahwa dalam proses penyidikan ini terlapor tetap tiga. Kendati ada satu yang meninggal dunia.

"Untuk yang meninggal nanti pasal 109 KUHAP berlaku, penyidikan untuk yang meninggal dihentikan," jelasnya.

Dia mengatakan bahwa kutipan kematian yang bersangkutan juga telah didapatkan.

"Polri akan menangani kasus ini dengan profesional, transparan dan akuntabel," terang jenderal berbintang satu tersebut.

Sementara Komisioner Kompolnas Pongky Indarti menuturkan bahwa memang bila terlapor meninggal dunia, laporan terhadap terlapor itu gugur.

"Yang meninggal tidak bisa dimintai pertanggungjawaban," jelasnya.

Terkait waktu penyampaian, lanjutnya, perlu disampaikan secara transparan untuk mencegah adanya kecurigaan. Lalu, masih ada dua orang terlapor yang masih hidup. "Tentunya harus diproses sesuai dengan keterlibatannya," ujarnya.

Kasus tewasnya enam laskar FPI tersebut kendati telah naik status penyidikan, hingga saat ini belum terdapat tersangka. Belum diketahui juga ada penambahan jumlah terlapor atau kemungkinan adanya perintah dari atasan untuk melakukan penembakan. Komnas HAM diketahui telah memberikan laporan pendalamannya ke Polri, bahkan barang bukti yang ditemukan lembaga penyelidik kasus pelanggaran hak asasi manusia itu juga telah diserahkan ke Polri.(idr/jpg)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook