JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto (BW) mengkritisi indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang berada pada poin 40 pada 2019, dari sebelumnya 38 pada 2018. Menurutnya, hal ini tidak bisa membanggakan untuk Indonesia. Justru Indonesia kalah dari Timor Leste yang meningkat tiga poin, IPK-nya kini 38 poin.
"Di 2019, skor IPK Vietnam menjadi 37, padahal tahun lalu hanya 33 saja. Indonesia juga kalah dari Timor Leste yang meningkat dua poin sehingga skornya menjadi 38. Tapi Indonesia masih di atas Thailand yang justru merosot dua poin dan skornya kini menjadi 36," kata BW dalam keterangannya, Sabtu (25/1).
BW memandang, Indonesia masih beruntung karena seluruh survei yang dikomposit oleh Tranparency International sebagian besar dilakukan surveyor di awal dan pertengahan 2019. Misalnya, survei PERC Asia Risk Guide 2019, dilakukan Januari-Maret 2018 dan begitu setiap tahunnya.
"Jika saja survei dilakukan mendekati akhir tahun, dipastikan skor IPK Indonesia versi TI akan jeblok. Karena indikasi kuat terjadinya intensitas tragedi dan skandal pemberantasan korupsi menjelang akhir tahun 2019," sesal BW.
Oleh karena itu, BW menilai skor IPK Indonesia yang meraih poin 40 di tahun 2019 yang diumumkan di awal 2020, tidak membuat rakyat kebanyakan menjadi bangga. Masyarakat justru merasa miris khususnya atas upaya pelemahan terhadap kinerja KPK.
"Hal lain yang membuat rakyat muak, lihat saja dan bandingkan. Malaysia bisa menggenjot peningkatan indeks skor IPK hingga 11 poin. Pada 2019 skornya mencapai 58 sedangkan di tahun 2018 hanya 47 poin saja. Itu artinya, dalam satu tahun, Malaysia menggenjot peningkatan IPK menjadi 11 poin," tegas BW.
Merujuk data Tranparency International, kata BW, salah satu pemicu utama merosotnya IPK karena pemerintah Indonesia melakukan tindakan yang paradoks dan justru sangat beresiko menakuti-nakuti investor. KPK sebagai lembaga antikorupsi Indonesia yang dipandang sebagai simbol kemajuan upaya pemberantasan korupsi justru dihilangkan otonomi dan kekuasaannya.
"Bukankah hal ini bertentangan dengan aspirasi Presiden Jokowi yang sedang memerioritaskan investasi asing dan pertumbuhan ekonomi," tegas BW.
Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi