JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Sinyal kenaikan harga BBM bersubsidi semakin menguat. Salah satunya terkait rencana pemerintah yang akan mengganggarkan bantuan sosial (bansos) sebagai kompensasi jika harga BBM bersubsidi naik. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, bansos itu akan diberikan jika harga pertalite dan solar subsidi naik.
"Sehingga exercise-nya bagaimana bantalan yang harus disiapkan. Jadi bukan hanya terkait penyesuaian atau pembatasan, tetapi bantalan-bantalan sosial yang harus disiapkan," ujar Airlangga Hartarto ditemui di Istana, Jakarta, Rabu (24/8).
Airlangga melanjutkan, pemerintah sangat memahami jika kenaikan harga BBM bersubsidi pasti akan berdampak bagi masyarakat, terutama pada aspek daya beli yang akan tergerus. Dengan begitu, pihaknya terus mematangkan skema dan penghitungan terkait seluruh variabel tersebut.
"Tentu ada dampak baik terhadap industri, terhadap volume yang akan diserap kemudian juga akan berpengaruh sedikit juga terhadap daya beli dan juga berpengaruh terhadap inflasi. Nah itu semua sedang dikalkulasi," ujar Ketum Partai Golkar itu.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyampaikan, pemerintah masih akan membahas kembali rencana kenaikan harga BBM bersubsisi. "Kita akan bahas lagi," jelas Arifin ditemui di tempat yang sama, Rabu (24/8).
Senada dengan Airlangga, Arifin menyebut pemerintah tetap mempertimbangkan berbagai hal sebelum menetapkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Beberapa hal itu mencakup aspek daya beli masyarakat, kemampuan pendanaan pemerintah, serta antisipasi kemungkinan meningkatnya kebutuhan energi pada akhir tahun ini.
"Ketersediaan energi terbatas, harganya bisa meningkat (karena) mau masuk musim dingin di luar (negeri) sekarang. Kita harus upayakan penuhi paling nggak listrik, untuk manfaatkan maksimum capacity baseload dalam negeri," jelas dia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, pemerintah tidak dapat langsung menambah anggaran subsidi energi, khususnya untuk stabilisasi harga bahan bakar minyak. Pemerintah akan tetap menggunakan anggaran Rp502,4 triliun sesuai keputusan bersama DPR RI.
Dia menjelaskan, pada dasarnya pemerintah akan mengacu kepada persetujuan DPR dalam hal penganggaran. Dengan begitu, pemerintah tidak lantas bisa mengubah besaran subsidi karena belum terdapat pembahasan maupun persetujuan dari para anggota dewan.
"Alokasinya sesuai dengan peraturan presiden itu, yang sudah di approve oleh DPR saja, sebanyak Rp502 triliun. Makanya kalau jumlahnya melebihi itu memang harus diperlukan keputusan untuk tahun ini atau meluncur tahun depan," ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi XI, Rabu (24/8).
Dia menyebut bahwa apabila beban subsidi ternyata melebihi asumsi awal, anggarannya berpotensi mundur ke tahun depan. Artinya APBN 2023 berpotensi akan menanggung beban subsidi pada 2022.
Sejatinya kondisi itu sudah terjadi pada tahun ini, yakni pemerintah membawa (carry over) kewajiban kompensasi energi Rp104 triliun dari 2021. Kewajiban itu sudah dibayarkan pada semester I/2022, yang menjadi bagian dari anggaran subsidi Rp502,4 triliun pada tahun ini.
"Kalau seandainya nanti ada tagihan yang lebih banyak, diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan, berarti meluncur ke tahun 2023 dan membebani APBN 2023, seperti itu," jelas dia.
Menteri BUMN Erick Thohir menambahkan, pemerintah tidak menghilangkan subsidi energi. Melainkan mengurangi subsidi dengan asumsi harga minyak yang meningkat. Seperti diketahui, harga minyak mentah saat ini mencapai 105 dolar AS per barel. Dalam asumsi APBN 2023 sudah dikoreksi dari 65 dolar AS per barel menjadi 95 dolar AS per barel.
"Pemerintah berencana bisa menekan subsidi dari Rp502 triliun ke sekitar Rp300 triliun pada 2023. Kalau lihat harga BBM, kami dibandingkan pertamax Rp12.500 per liter, di Shell RON setara pertamax Rp17.500 per liter. Artinya pertamax juga disubsidi," katanya, Rabu (24/8).
Terkait dengan penyesuaian harga BBM bersubsidi, dia masih enggan menjelaskan lebih lanjut. Menurutnya hal itu masih terus digodok oleh pemerintah. Sore hari kemarin, sejumlah menteri menggelar rapat koordinasi terkait harga BBM di kantor Kemenko Perekonomian.
Menko Perekonomian, Menkeu, Menteri BUMN, serta para staf khusus turut hadir. Namun hingga berita ini ditulis tadi malam, para menteri itu bungkam. Mereka kompak keluar dan menghindari awak media yang sudah berkumpul sejak siang.
Ditemui usai rakor itu, Tim Asistensi Menko Perekonomian Raden Pardede menyebutkan, seluruh keputusan detil terkait harga BBM bersubsidi harus menunggu Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Saya tidak tahu, (tanya ke) Pak Menko saja, nanti akan diberitahukan. Tadi (kemarin, red) bahas dampaknya (subsidi BBM) terhadap perekonomian. Detilnya tunggu saja dari Bapak Presiden, semua opsi kita cari yang terbaik," tuturnya.
Raden menyebutkan, penghematan anggaran untuk subsidi masih bisa dilakukan dengan tidak perlu memangkas pos lain, serta juga harga minyak yang sedang turun sudah masuk hitungan. "Bisa diatur, kalau subsidi bisa dihemat, kalau pemangkasan anggaran lain tidak. Harga minyak lagi turun juga kita pertimbangkan," tuturnya.
Terpisah, kemarin juga digelar Raker Komisi VII dengan Menteri ESDM Arifin Tasrif. Dalam raker tersebut, ada beberapa usulan dari wakil rakyat. Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKB Syaikul Islam Ali mengatakan, daripada menaikkan harga BBM subsidi, pemerintah sebaiknya membatasi pembelian disertai menambah kuota penyaluran agar tidak habis di tengah jalan.
"Maka kalau disuruh milih opsi pembatasan itu yang masuk akal karena kalau tidak ada pembatasan dan kenaikan harga tidak masuk akal, sudah pasti kuota jebol," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Ketua Komisi VII DPR Sugeng setuju dengan rencana pemerintah menaikkan subsidi BBM. Namun, maksimal hanya 30 persen.(dee/agf/wan/das)
Laporan JPG, Jakarta