Larangan Ekspor Minyak Goreng Jangan seperti Batu Bara

Nasional | Minggu, 24 April 2022 - 10:09 WIB

Larangan Ekspor Minyak Goreng Jangan seperti Batu Bara
Tofan Mahdi (INTERNET)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pelaku usaha industri kelapa sawit mau tidak mau mengikuti kebijakan pemerintah yang melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya. Meski, pemerintah juga diminta untuk mengevaluasi efektivitas kebijakan tersebut.

Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Tofan Mahdi menuturkan, pada prinsipnya pelaku usaha perkelapasawitan mendukung setiap kebijakan pemerintah terkait sektor kelapa sawit. Namun, pihaknya akan terus memonitor perkembangan di lapangan pasca pemberlakuan kebijakan stop ekspor tersebut.


"Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan dalam mata rantai industri sawit untuk memantau dampak kebijakan tersebut terhadap sektor keberlanjutan usaha sektor kelapa sawit," ujarnya di Jakarta kemarin (23/4).

Kebijakan tersebut mulai berlaku pada 28 April 2022. Para pelaku usaha tentu perlu melakukan monitoring lebih lanjut. "Jika kebijakan ini membawa dampak negatif pada keberlanjutan usaha sektor kelapa sawit, kami akan memohon kepada pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan tersebut," jelas Tofan.

Terpisah, anggota Komisi VII DPR Mulyanto berharap kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya tidak angin-anginan. Artinya, bukan dibuat sekadar untuk meredakan kegaduhan masyarakat setelah penetapan tersangka dan penahanan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan beserta sejumlah pimpinan perusahaan migor raksasa.

Dia berharap kebijakan itu tidak bernasib sama seperti larangan ekspor batu bara yang hanya berumur sepekan. "Dan, ironisnya kebijakan larangan ekspor batu bara yang ditetapkan presiden dibatalkan Menko Maritim dan Investasi," katanya.

Mulyanto mendesak pemerintah segera merumuskan dan menetapkan kebijakan lanjutan terkait tata niaga minyak goreng. Hal penting yang perlu diambil pemerintah selanjutnya adalah kebijakan untuk memprioritaskan migor dan CPO bagi kebutuhan pasar dalam negeri. "Tidak seperti kebijakan sekarang, CPO dan migor hampir di atas 70 persen didedikasikan untuk pasar ekspor mengejar devisa," ungkapnya.

Kebijakan yang memprioritaskan ekspor tersebut memunculkan kondisi yang mengherankan. Di satu sisi, Indonesia merupakan negara produsen terbesar migor dunia. Di sisi lain, rakyatnya justru antre migor akibat kelangkaan.

Karena itu, kata Mulyanto, pemerintah harus tegas menetapkan CPO dan migor sebagai komoditas prioritas dalam negeri dan konsisten melaksanakannya. "Pemerintah tidak boleh kalah dan lemah didikte korporasi," ujar legislator asal dapil Tangerang Raya itu.

Menurut Mulyanto, nanti pemerintah juga perlu menetapkan kebijakan pembatasan ekspor CPO dan turunannya. Ekspor komoditas berbasis minyak sawit yang diperbolehkan hanya produk hasil hilirisasi yang bernilai tambah tinggi. "Sudah saatnya pemerintah mengambil kebijakan pelarangan ekspor minyak sawit mentah ke luar negeri. Dengan kemajuan inovasi dan teknologi industri domestik, selayaknya Indonesia hanya mengekspor komoditas hasil hilirisasi yang bernilai tambah tinggi agar dapat memaksimalkan proses pengolahan oleh industri domestik," paparnya.(dee/lum/c7/fal)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook