Usia Produktif Paling Banyak Terkena TBC

Nasional | Jumat, 24 Maret 2023 - 11:22 WIB

Usia Produktif Paling Banyak Terkena TBC
Ilustrasi (INTERNET)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Setiap 24 Maret diperingati sebagai hari tuberkolosis (TBC). Menurut data Kementerian Kesehatan, kasus TBC di Indonesia paling banyak terjadi di usia produktif atau rentang usia 45 sampai 54 tahun. Meski demikian, kasus TBC pada anak tidak boleh disepelekan.

Pemerintah memfokuskan pengendalian TBC bagi para pekerja melalui Permenkes Nomor 67 tahun 2016 tentang Penanggulangan TBC dan Permenaker nomor 13 tahun 2002 tentang Penanggulangan TBC di Tempat Kerja.


Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengatakan jumlah kasus TBC sensitif obat berdasarkan jenis pekerjaan tahun 2022 paling banyak dialami oleh buruh dengan jumlah 54.800 orang, petani 51.900 orang, dan wiraswasta 44.200 orang.

“Sementara untuk jumlah kasus TBC resisten obat berdasarkan jenis pekerjaan Tahun 2022 paling banyak ada di wiraswasta 751 orang, buruh 635 orang, dan pegawai swasta BUMN atau BUMD 564 orang,” katanya.

Menurutnya edukasi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan TBC karena pengobatannya lama. “Kalau TB SO itu 6 bulan minimal, kalau TB RO itu minimal 1 tahun,” ujarnya.

Menurut data kependudukan BPS pada 2022, lebih dari 80 persen pekerja informal tidak mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan. Menurut Imran, ini jadi tantangan bersama bagaimana membuat mereka mempunyai akses yang baik.

Direktorat Bina Pengujian Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Maptuha menjelaskan Kemenaker menyusun Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) nomor 13 Tahun 2022 tentang Penanggulangan Tuberkulosis di Tempat Kerja.

Sasaran dari pelaksanaan Permenaker ini adalah pengusaha dan pengurus perusahaan, dokter perusahaan,  pekerja atau buruh, dan bagi pengawas ketenagakerjaan untuk melakukan pengawasan pelaksanaan penanggulangan tuberkulosis di tempat kerja.

“Kami melakukan identifikasi risiko tinggi tuberkulosis di tempat kerja menggunakan formulir screening di enam wilayah yaitu Jawa Tengah 1050 pekerja, Jawa Barat 2.719 pekerja, DKI Jakarta 100 pekerja, Jawa Timur 327 pekerja,  Sumatera Utara 150 pekerja, dan Banten 409 pekerja,” ucapnya.

Pada kesempatan lain, Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim Basarah Yanuarso SpA menyatakan TBC pada anak sering diremehkan. Padahal, kalau TBC anak sampai komplikasi seperti radang otak bisa cacat seumur hidup. “Ini sangat merugikan kita semua karena kehilangan satu anak yang merupakan calon pemimpin masa depan,” ungkapnya.

Ketua UKK Resporologi IDAI dr Rina Triasih SpA menyatakan penularan TBC melalui percikan air ludah dan mudah menular ke orang lain. Khusus pada anak gejalannya batuk lebih dari dua pekan dan sudah diberi antibiotik tapi tidak membaik. “Bisa juga demam lebih dari dua pekan dan sudah diberi antibiotik maupin anti malaria tidak sembuh juga,” katanya.

Berat badan yang terus turun menjadi perhatian. Selama ini, TBC pada anak tidak jadi prioritas karena tidak menular. Padahal, menurut Rina, anak-anak menjadi korban dan berisiko kematian. Sedangkan TBC pada remaja mirip TBC dewasa. “Stigma TBC tinggi jadi membuat malas ke fasilitas kesehatan,” ujarnya.

Dampaknya tidak tertib minum obat dan berisiko untuk sumber penularan. Pada 2021 ada 969.000 pasien TBC di Indonesia. Namun yang baru terlapor hanya 40 persennya.(lyn/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook