JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kasus gangguan ginjal akut pada anak menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Data terbaru dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), angka kematian tercatat sebanyak 133 anak. Mayoritas usia di bawah lima tahun (balita).
Jumlah tersebut meningkat pesat dibandingkan data pada Rabu (19/10) lalu. Ketika itu tercatat jumlah pasien meninggal akibat penyakit dengan nama lain acute kidney injury (AKI) tersebut sebanyak 99.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, hasil identifikasi juga menunjukkan adanya penambahan kasus pasien penyakit gagal ginjal akut misterius. Yakni sebanyak 241 kasus atau bertambah 35 pasien dari jumlah sebelumnya sebanyak 206 pasien.
Jumlah itu tersebar di 22 provinsi atau bertambah dua provinsi dari laporan awal pekan ini. Dengan 133 kematian tersebut, tingkat kematian penyakit itu tercatat sebesar 55 persen.
Penambahan kasus tersebut membuat rumah sakit (RS) rujukan mulai mengalami tekanan. Bahkan, menurut Budi, RSUP dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) sebagai salah satu RS rujukan mulai dipenuhi pasien anak-anak dengan diagnosis penyakit itu. "Ini naiknya pesat sekali," ujar Budi dalam konferensi pers virtual, Jumat (21/10).
Hasil penelitian sementara yang dilakukan Kemenkes menyebutkan bahwa penyakit misterius yang merenggut nyawa ratusan anak tersebut disebabkan kalsium oksalat hasil dari proses metabolisme tubuh terhadap senyawa ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), atau ethylene glycol monomethyl ether. Kalsium oksalat sendiri berbentuk kristal kecil yang tajam dan bisa merusak ginjal.
Kesimpulan tentang penyebab gangguan ginjal akut itu merupakan hasil tes toksikologi terhadap pasien-pasien anak yang mengidap penyakit AKI. Budi menjelaskan, tes tersebut diawali dari penelitian terhadap sebelas anak yang dirawat di RSCM. Hasilnya, terdapat senyawa EG, DEG, atau ethylene glycol monomethyl ether pada tujuh anak yang dites.
Informasi tentang EG, DEG, atau ethylene glycol monomethyl ether itu bermula dari laporan hasil uji laboratorium Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis 5 Oktober lalu. Uji lab tersebut dilakukan untuk mencari tahu penyebab meninggalnya 70 anak di Gambia, Afrika Barat.
Budi mengatakan, senyawa EG, DEG, atau ethylene glycol monomethyl ether merupakan cemaran (impurities) dari pelarut tambahan yang digunakan untuk obat sirop. "Obat sirop ini supaya melarutnya bagus, ia (sirup) dikasih pelarut tambahan, namanya polyethylene glycol," jelasnya.
Senyawa tersebut sejatinya tidak beracun. Namun, jika kualitasnya buruk, bisa menghasilkan cemaran. Nah, dari cemaran itulah senyawa kimia EG, DEG, atau ethylene glycol monomethyl ether berasal. "Ini (senyawa cemaran, Red) bukan bahan aktif. Ini adalah pelarut tambahan yang memang sangat jarang ditulis di senyawa aktif obat," terang dia.
Selain berkoordinasi dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kemenkes mengundang Gabungan Perusahaan Farmasi dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) serta ahli farmakologi untuk membahas masalah serius tersebut. "Kami juga minta IDI (Ikatan Dokter Indonesia, red) untuk meminta dokter anak agar jangan meresepkan (obat sirup, red), karena berisiko tinggi," ungkapnya.
Soal pengganti obat sirop untuk mengobati anak demam, Budi menyarankan orang tua mengonsumsi obat sesuai resep dokter. Pihaknya sudah menyampaikan pemahaman kepada organisasi profesi kesehatan untuk memberikan resep obat yang aman selain sirup. "Tanyakan ke dokter saja. Mereka (dokter, red) orang yang tepat," tutur Budi ketika ditanya soal obat demam pengganti sirop.
Kemenkes memang tidak berwenang menarik jenis obat tertentu. Namun, Budi menegaskan bahwa pihaknya bisa melarang penjualan obat di apotek di bawah Kemenkes. "Ini (larangan menjual obat sirop, red) sementara. Sambil kita pastikan (obat sirop) berbahaya atau tidak," ujarnya. Karena masih diteliti, Kemenkes belum bisa menerapkan status kejadian luar biasa (KLB) atas kematian ratusan anak tersebut. Desakan untuk menaikkan status menjadi KLB ini memang ramai di masyarakat. Terlebih melihat perkembangan kasus yang kini sudah melebihi 200 anak. Mirisnya, lebih dari 100 anak meninggal akibat penyakit misterius tersebut. Dengan perubahan status menjadi KLB, penanganan dan sumber daya diharapkan dapat maksimal.
Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi Tjandra Yoga Aditama menuturkan, situasi ini benar-benar merupakan tantangan amat berat bagi dunia kesehatan. Dalam penentuan status, jika merujuk peraturan menteri kesehatan, memang ada dua jenis KLB. Yakni KLB penyakit menular yang dapat menjurus terjadinya wabah dan KLB keracunan pangan.
Sementara untuk AKI, sejauh ini yang diduga menjadi penyebabnya tidak termasuk dalam dua kategori tersebut. Bukan persebaran penyakit menular yang berpotensi wabah. Bukan juga akibat 200 kasus di 20 provinsi mengonsumsi makanan tertentu. "Tetapi, bagaimanapun juga, apa pun istilah yang akan dipakai, situasi ini bukanlah hal yang biasa. Ini jelas situasi luar biasa bagi kesehatan masyarakat kita," tegasnya.
Terpisah, PT Konimex menyatakan bahwa seluruh obat dalam bentuk sirop yang mereka produksi tidak menggunakan bahan baku EG dan DEG. PT Konimex senantiasa memastikan bahan baku yang digunakan dari mitra pemasok yang telah bermitra selama puluhan tahun, memenuhi persyaratan sesuai buku standar obat yang dikeluarkan oleh badan resmi pemerintah (Farmakope).
PT Konimex memahami langkah antisipatif yang diambil oleh pihak berwenang melalui Surat Keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) Nomor: R-PW.01.12.35.352.10.22.1698, perihal: Penghentian Produksi, Distribusi, dan Penarikan Kembali (recall) Obat, tertanggal 17 Oktober 2022 yang kami terima pada tanggal 20 Oktober 2022.
"Sebagai wujud kepatuhan PT Konimex, saat ini kami tengah mempersiapkan langkah untuk melakukan penghentian produksi, distribusi dan penarikan kembali (recall) produk Termorex Sirop 60ml dengan nomor batch: AUG22A06, sesuai surat edaran dari BPOM," ujar Chief Executive Officer PT Konimex, Rachmadi Joesoef dalam rilis, Jumat (21/10). (tyo/mia/c9/fal/das)