JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Sebanyak 42 mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan surat banding administratif kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Kamis (22/10). Puluhan mantan pegawai lembaga antirasuah itu meminta agar kepala negara membatalkan pemberhentian pegawai KPK.
"Membatalkan Keputusan Pimpinan KPK tentang pemberhentian dengan hormat 57 pegawai KPK atas nama kami, di mana sama sekali tidak ada ayat dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), yang mensyaratkan pemberhentian Pegawai KPK berdasarkan hasil TWK," terang Hotman Tambunan, mewakili puluhan mantan pegawai KPK dalam surat 42 mantan pegawai KPK, Jumat (22/10).
Dalam isi surat itu, Hotman menjelaskan, para pegawai KPK yang telah bekerja untuk KPK dengan variasi waktu yang berbeda, antara 5 sampai dengan 15 tahun, dari berbagai direktorat, biro serta kedeputian. Selama mengabdi di KPK, mereka telah berupaya menjalankan tugas sebaik-baiknya untuk memberantas korupsi, sehingga Indonesia Maju bisa diwujudkan.
Akan tetapi, mereka ditetapkan sebagai pegawai yang tidak memenuhi syarat (TMS) untuk diangkat menjadi ASN berdasarkan hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dilakukan secara maladministrasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM), berdasarkan temuan dan kesimpulan Ombudsman RI dan Komnasham RI, pada 9 Maret sampai 9 April 2021. Serta diberhentikan sebagai Pegawai KPK 30 September 2021.
Alasan penyerahan surat banding ini dilayangkan, menurut Hotman, karena sebelumnya pihaknya telah membuat laporan kepada Ombudsman RI dan Komnas HAM terkait pelaksanaan TWK. Terhadap pelaporan ini, Komnas HAM RI telah mengeluarkan laporan 16 Agustus 2021, yang pada intinya menyimpulkan bahwa proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui Asesmen TWK hingga pelantikan pada 1 Juni 2021 diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran terhadap pegawai tertentu, dengan latar belakang tertentu.
"Keseluruhan konstruksi peristiwa penyelenggaraan asesmen TWK merupakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, ditinjau dari sisi kebijakan, tindakan atau perlakuan, dan ucapan (pertanyaan dan pernyataan) yang memiliki karakteristik yang tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia. Setidaknya, terdapat 11 bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada proses asesmen TWK dalam rangka alih status Pegawai KPK menjadi ASN," jelas Hotman.
Bahkan Komnas HAM maupun Ombudsman RI yang menyatakan adanya maladministrasi dalam TWK telah melayangkan rekomendasi kepada Presiden Jokowi. Dalam rekomendasi itu, mereka meminta memulihkan status Pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) untuk dapat diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) KPK.
Selain itu, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses penyelenggaraan asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap Pegawai KPK. Kemudian, melakukan upaya pembinaan terhadap seluruh pejabat Kementerian/Lembaga yang terlibat dalam proses penyelenggaraan asesmen TWK Pegawai KPK, agar dalam menjalankan kewenangannya untuk tetap patuh pada ketentuan Perundang-undangan yang berlaku, serta memegang teguh prinsip-prinsip profesionalitas, transparansi, akuntabilitas, serta memenuhi azas keadilan dan sesuai dengan standar hak asasi manusia.
Serta perlu adanya penguatan terkait wawasan kebangsaan, hukum dan hak asasi manusia dan perlunya nilai-nilai tersebut menjadi code of conduct dalam sikap dan tindakan setiap aparatur sipil negara. Pemulihan nama baik pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
Para pegawai KPK ini menyampaikan banding administratif atas surat keputusan Pimpinan KPK tentang pemberhentian dengan hormat atas nama kami dan juga mohon kepada Bapak Presiden RI untuk memulihkan kembali hak dan nama baik 57 pegawai yang dikategorikan tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi ASN.
"Mengambil alih proses pelaksanaan alih status 57 pegawai KPK dan menetapkan/mengangkat 57 pegawai yang diberhentikan dengan hormat oleh Pimpinan KPK menjadi Aparatur Sipil Negara di Komisi Pemberantasan Korupsi RI, sesuai dengan rekomendasi dari Ombudsman RI dan Komnasham RI," tutup surat tersebut.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi