MENYIKAPI KASUS KEMATIAN PASIEN ANAK KARENA GANGGUAN GINJAL AKUT

Obat Sirop Anak Dilarang Dijual Bebas

Nasional | Kamis, 20 Oktober 2022 - 10:24 WIB

Obat Sirop Anak Dilarang Dijual Bebas
Konsumen memperlihatan obat sirop yang dibeli. Kemenkes melarang obat sirop dijual bebas. (ISTIMEWA)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Angka kematian pasien anak karena gangguan ginjal akut misterius mencapai 99 anak. Penyelidikan yang sedang dilakukan belum menemukan penyebab penyakit ini. Untuk tindakan pencegahan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melarang meresepkan dan menjual obat sirop secara bebas bagi anak-anak untuk sementara waktu. Larangan ini pun mulai diterapkan di Riau.

Dinas Kesehatan Provinsi Riau pun telah menerima surat dari Kementerian Kesehatan terkait perintah untuk menghentikan penjualan obat sirup bagi anak-anak. Hal tersebut sebagai antisipasi kasus gagal ginjal akut pada anak yang belakangan banyak ditemukan.


Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau Zainal Arifin mengatakan, pihaknya telah meneruskan surat dari Kemenkes ke seluruh kabupaten/kota dan meminta agar apotek dan tenaga kesehatan mengikuti anjuran dari pemerintah tentang penghentian pemberian obat sirop bagi anak.

"Kemenkes sudah meminta apotek maupun tenaga kesehatan untuk menyetop sementara resep obat sirop. Tiap apotek, untuk sementara  juga dilarang menjual obat sirop. Dan kami sudah mengirim surat itu ke 12 kabupaten/kota," katanya, Rabu (19/10).

Dijelaskan Zainal, penyetopan obat sirop bagi anak oleh Kementerian Kesehatan, untuk mencegah lebih awal terjadinya kematian terhadap anak akibat gagal ginjal akut dan terdapat kejadian kematian anak di beberapa daerah di Pulau Jawa. Namun untuk di Riau, sejauh ini belum ditemukan anak yang meninggal akibat gagal ginjal akut.

"Kami sudah menghubungi ikatan dokter anak. Sampai hari ini  (kemarin, red) untuk Riau belum ditemukan kasus gagal ginjal akut. Namun demikian, mari kita ikuti perintah pemerintah untuk menyetop obat sirop bagi anak. Jangan sampai sudah ada jatuh korban baru disetop," ajak Zainal.

Sementara itu, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Riau Dr dr Deddy Satriya Putra SpA (k) mengatakan, pihaknya hingga saat ini belum menemukan adanya kasus gagal ginjal akut pada anak di Riau. "Untuk di Riau belum ada ditemukan. Sebenarnya penyakit gagal ginjal akut pada anak sudah ditemukan sejak Januari 2022 lalu di Aceh. Tetapi baru sekarang menjadi pemberitaan hangat," katanya.

Dijelaskan dr Deddy, penyakit gagal ginjal akut banyak menyerang anak di bawah usia lima tahun dengan kondisi perburukan yang sangat cepat. Karena itu, pihaknya mengimbau orang tua jika anaknya mengalami kondisi jarang kencing untuk segera membawa ke rumah sakit. "Sebab hal tersebut salah satu gejala utama dari gagal ginjal akut. Apalagi jika diawali dengan batuk dan pilek," jelasnya.

Sebagai langkah pencegahan, pihaknya mengimbau para orang tua untuk tidak terlalu cepat memberikan obat kepada anak yang demam. Jika anak demam dan masih di bawah 37,5 suhunya lebih baik di kompres dengan air hangat. "Demam itukan respons tubuh terhadap infeksi yang masuk. Jadi tidak harus langsung diberikan obat, apalagi dosisnya tidak tepat," ujarnya.

Di sisi lain, Kepala BBPOM Pekanbaru, Yosef Dwi Irwan mengatakan, BPOM melakukan pengawasan secara komprehensif pre dan post market terhadap produk obat yang beredar di Indonesia. Sesuai dengan peraturan dan persyaratan registrasi produk obat, BPOM telah menetapkan persyaratan bahwa semua produk obat sirop untuk anak maupun dewasa, tidak diperbolehkan menggunakan EG dan DEG.

Namun demikian, EG dan DEG dapat ditemukan sebagai cemaran pada gliserin atau propilen glikol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan. BPOM telah menetapkan batas maksimal EG dan DEG pada kedua bahan tambahan tersebut sesuai standar internasional.

BPOM mendorong tenaga kesehatan dan industri farmasi untuk aktif melaporkan efek samping obat atau kejadian tidak diinginkan pascapenggunaan obat sebagai bagian dari pencegahan kejadian tidak diinginkan yang lebih besar dampaknya.

"BPOM juga berkoordinasi secara intensif dengan Kementerian Kesehatan, sarana pelayanan kesehatan, dan pihak terkait lainnya dalam rangka pengawasan keamanan obat (farmakovigilans) yang beredar dan digunakan untuk pengobatan di Indonesia," ujarnya.

Kemudian, BPOM juga melakukan penelusuran berbasis risiko, sampling, dan pengujian sampel secara bertahap terhadap produk obat sirup yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG.

Hasil pengujian produk yang mengandung cemaran EG dan DEG tersebut masih memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk memastikan pemenuhan ambang batas aman berdasarkan referensi.

Selanjutnya, untuk produk yang melebihi ambang batas aman akan segera diberikan sanksi administratif berupa peringatan, peringatan keras, penghentian sementara kegiatan pembuatan obat, pembekuan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CFOB), pencabutan sertifikat CPOB, dan penghentian sementara kegiatan iklan, serta pembekuan izin edar dan/atau pencabutan izin edar.

Dijelaskannya, semua industri farmasi yang memiliki obat sirup yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG, diminta untuk melaporkan hasil pengujian yang dilakukan secara mandiri. Sebagai bentuk tanggung jawab, pelaku usaha industri farmasi juga dapat melakukan upaya lain seperti mengganti formula obat dan/atau bahan baku jika diperlukan.

Untuk itu, BPOM mengajak masyarakat untuk menggunakan obat secara aman dan selalu memperhatikan hal-hal sebagai seperti menggunakan obat sesuai dan tidak melebihi aturan pakai, membaca dengan seksama peringatan dalam kemasan.

Kemudian, menghindari penggunaan sisa obat sirup yang sudah terbuka dan disimpan lama, melakukan konsultasi kepada dokter, apoteker atau tenaga kesehatan lainnya apabila gejala tidak berkurang setelah tiga hari penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas pada upaya pengobatan sendiri (swamedikasi).

"Melaporkan secara lengkap obat yang digunakan pada swamedikasi kepada tenaga kesehatan dan melaporkan efek samping obat kepada tenaga kesehatan terdekat atau melalui aplikasi layanan BPOM Mobile dan e-MESO Mobile," ujarnya.

Menurut data dari Kementerian Kesehatan yang diterima Jawa Pos (JPG), Rabu (19/10), Jawa Barat menempati rangking pertama dengan kasus kematian terbanyak yakni 25 anak. Lalu DKI Jakarta 21 anak. Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Aceh masing-masing 10 anak. Kematian juga terjadi di Bali, Jogjakarta, Banten, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, NTT, dan Papua Barat.

"Jumlah kasus yang dilaporkan hingga 8 Oktober adalah 206 kasus dari 22 provinsi," kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan M Syahril, Rabu (19/10).

Di Jakarta ada sembilan anak yang dilaporkan sembuh dari penyakit ini. Sementara Jawa Timur lima anak. Lalu di Jawa Barat dan Banten masing-masing ada tiga anak yang sembuh. Masih pada data yang sama, 45 persen pasien anak dilaporkan mengalami penyakit ini memiliki gejala demam. Lalu 49 persen pasien mengalami gangguan berkemih. Gejala lainnya infeksi saluran cerna dan ISPA. Namun ada 20 persen anak yang berpenyakit tersebut masih belum teridentifikasi gejalanya.

Pada pemeriksaan USG, bentuk dan ukuran ginjal normal dan tidak ada kelainan. Hanya saja pemeriksaan laboratoriumnya terdapat kenaikan keratin. "Dari hasil pemeriksaan tidak ada bukti hubungan kejadian gangguan ginjal akut misterius dengan vaksin Covid-19 maupun infeksi Covid-19," tegas Syahril.

Hingga kini, Kementerian Kesehatan bersama stakeholder terkait masih mencari penyebab penyakit tersebut. Senyawa dalam salah satu jenis obat masih diteliti. "Untuk tingkatkan kewaspadaan, Kemenkes sudah meminta kepada seluruh nakes di faskes tidak meresepkan obat dalam bentuk cair atau sirop sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas," katanya.

Penjualannya pun tak boleh bebas lagi. Lalu bagaimana jika si kecil sakit? Syahril mengimbau agar masyarakat harus konsultasi dengan dokter. Apalagi untuk meminumkan obat dalam bentuk cari atau sirop. "Sebagai alternatif dapat gunakan tablet, kapsul, atau lainnya," jelasnya.

Dia juga menyarankan jika terjadi penurunan frekuensi buang air kecil atau sama sekali tidak keluar, harus segera lakukan pemeriksaan ke fasyankes. Selain itu diharapkan membawa obat yang dikonsumsi sebelumnya.

Menurut surat yang dikeluarkan oleh Kemenkes yang ditujukan untuk pemda dan organisasi profesi kesehatan, ada 14 rumah sakit yang ditunjuk sebagai rujukan. Rumah sakit rujukan itu terdapat layanan hemodialisa dan dokter spesialis ginjal anak. 14 rumah sakit itu antara lain RSUP dr Cipto Mangunkusumo, RSUD dr Soetomo, RSUP dr Kariadi Semarang, RSUP dr Sardjito, RSUP Prod Ngoerah, RSUP H Adam Malik, dan RSUD Saiful Anwar Malang.

"Dalam upaya turunkan fatalitas, Kemenkes melalui RSCM telah membeli penawar yang didatangkan langusng dari luar negeri untuk diberikan ke pasien yang dirawat di seluruh rumah sakit di Indonesia," kata Syahril.

Ditemui terpisah, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, penghentian obat sirup yang dilakukan Kemenkes merupakan bagian dari upaya pencegahan. Di samping, upaya investigasi yang saat ini masih terus berjalan guna mengetahui penyebab dari penyakit gagal ginjal akut misterius yang tengah marak terjadi.

"Investigasi saat ini sedang berjalan. Saya kira perlu (penghentian obat-obatan tertentu, red) sambil diadakan pengkajian lebih dalam," ujarnya ditemui di sela acara High-level Intergovernmental meeting on the Final Review of the Asian and Pacific Decade Of Persons with Disabilities (HLIGM-FRPD) di Jakarta, Rabu (19/10).

Menurutnya, saat ini kondisi yang sama juga tengah di Afrika Barat, namun di sana, sudah dipastikan penyebabnya yakni obat sirop yang berasal dari Asia Selatan. Dia memastikan, jika obat yang sama tidak beredar di Indonesia. Tapi, dia meminta agar ditelusuri lebih dalam apakah ada obat lain yang memiliki kandungan sama dengan obat dari Asia Selatan tersebut.

"Kalau yang sekarang berada di Afrika Barat itu dipastikan tidak ada di Indonesia, cuma apakah mungkin ada jenis yang lain atau yang punya kandungan sama. Itu yang sedang dicari," paparnya.

Kondisi saat ini dinilainya sudah mengkhawatirkan. Apalagi melihat jumlah kasus yang sudah mencapai 206 kasus dengan kematian sebanyak 99 kasus. Karenanya, dia mendorong agar Kemenkes dan BPOM segera melakukan langkah-langkah pencegahan.

Sementara itu, Epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman menilai, keputusan Kemenkes untuk menghentikan penggunaan obat sirup tepat untuk saat ini. Upaya ini sebagai mitigasi awal dan respon awal sembari menunggu proses penyelidikan lebih lanjut.

Menurutnya, menyetop hal-hal yang bisa berpotensi menyebabkan gagal ginjal akut perlu dilakukan. Apalagi, ada literatur yang mendukung. Misal, penggunaan beberapa obat baik yang sifatnya antipiretik atau penurun demam atau lalu obat batuk yang mengandung Diethylene Glycol (DEG).

"Sementara tepat. Sampai ada kepastian dari investigasi yang dilakukan bahwa ini terkait atau tidak, atau obat yang ada saat ini aman atau tidak," ungkapnya.

Kendati demikian, Dicky meminta, kebijakan tersebut disertai dengan rekomendasi obat yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat ketika ada kasus batuk pilek. Pemerintah dan IDAI juga perlu kembali menyosialisasikan pola hidup sehat yang jadi opsi paling aman untuk menghindari segala risiko infeksi penyakit. "Tetap harus ada solusi, gak plek berhenti. Harus ada solusi yang menenangkan," tegasnya.(lyn/mia/das)

Laporan SOLEH SAPUTRA, DOFI ISKANDAR dan JPG, Pekanbaru dan Jakarta

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook