JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Revisi undang-undang Antiterorisme bukan hanya menyangkut pada pemberantasan ataupun pencegahan terorisme. Tetapi juga diarahkan pada perlakuan terhadap para korban jiwa dan korban yang selamat namun harus menanggung luka fisik maupun trauma sepanjang hidup.
Di dalam revisi itu turut tercantum tentang aturan pemberian kompensasi untuk para korban. Wakil Ketua Panitia Khusus Revisi UU Antiterorisme Supiadin Aries Saputra mengatakan, saat ini kompensasi atau ganti rugi untuk korban teror harus menunggu putusan pengadilan sehingga butuh waktu lama.
"Dengan UU Antiterorisme yang baru, tidak perlu lagi menunggu putusan pengadilan," ujarnya. Menurut Supiadin, uang kompensasi memang tidak akan bisa mengobati kepedihan dan luka korban teror.
Namun, setidaknya uang tersebut bisa membantu meringankan beban korban maupun keluarga yang ditinggalkan. Karena itu, lanjut dia, besaran kompensasi untuk korban teror juga akan ditetapkan. Mulai kategori luka ringan, luka berat, hingga meninggal dunia.
"Untuk korban luka, sekitar Rp75 juta," tutur dia. Supiadin mengatakan, karena yang dibahas saat ini adalah revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pemberian kompensasi itu akan berlaku surut.
"Mulai korban bom Bali 2002," tutur dia. Sebagaimana diketahui, UU Antiterorisme 2003 merupakan respons atas kasus bom Bali 2002 yang kemudian disebut dengan Bom Bali I. Itu adalah rangkaian tiga peristiwa pengeboman yang terjadi pada malam tanggal 12 Oktober 2002.
Dua ledakan pertama terjadi di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali. Ledakan terakhir terjadi di dekat kantor konsulat Amerika Serikat. Lalu, ada lagi pengeboman dalam skala yang jauh lebih kecil yang juga bertempat di Bali pada 2005. Teror itu disebut Bom Bali II.