Kasus bom Bali tersebut menjadi perhatian internasional karena merenggut 202 korban jiwa dan ratusan lainnya mengalami luka-luka. Mayoritas korban adalah wisatawan asing yang sedang berlibur di Bali. Menurut Supiadin, bagi korban teror yang kasusnya sudah diputus di pengadilan, proses ganti rugi akan mengacu pada putusan tersebut.
Namun, korban yang kasusnya belum diputus akan mendapat kompensasi berdasar rekomendasi penyidik dan keterangan saksi di lapangan. Misalnya, ada kasus seseorang meninggal karena mendengar ledakan bom. Dengan begitu, diperlukan rekomendasi apakah dia termasuk korban atau bukan.
"Misal, korban itu awalnya sehat, tapi meninggal karena serangan jantung saat mendengar bom. Maka, itu masuk kategori korban teror," jelasnya. Aturan kompensasi untuk korban teror tersebut kembali mengemuka dalam sidang pimpinan ideologis Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Oman Rochman alias Amman Abdurrahman.
Selain menuntut hukuman mati, jaksa penuntut umum (JPU) meminta kompensasi untuk para korban. Total, ada 16 nama korban yang dimasukkan dalam berkas tuntutan dengan nilai puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Di antara 16 korban itu, 13 orang adalah korban atau keluarga korban bom Thamrin pada Januari 2016. Sedangkan tiga lainnya adalah korban bom di Terminal Kampung Melayu pada Mei 2017. Dua teror bom itu disebut terkait dengan Amman.
Nilai ganti rugi terbesar diajukan oleh Frank Feulner, yakni Rp379.333.313. Warga negara Jerman itu menjadi korban bom saat berada di Starbucks Cafe Menara Skyline Sarinah.
Permintaan tersebut dibacakan jaksa Anita Dewayanti dalam sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat (18/5/2018).
Dia meneruskan permohonan para korban bom di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, dan bom di Kampung Melayu, Jakarta Timur. "Agar majelis hakim dalam putusannya membebankan kepada negara melalui menteri keuangan untuk memberikan hak kompensasi para korban yang perhitungan dan pengajuannya disampaikan melalui LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Red)," kata Anita.(jun/tyo/c11/owi)