JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengeluarkan data terbarunya terkait jumlah anak yang mengalami gangguan ginjal akut misterius. Ada 192 anak yang terdeteksi mengalami penyakit yang belum diketahui penyebabnya. Sayangnya tidak semua rumah sakit bisa melakukan cuci darah untuk anak-anak.
Selasa (18/10), Ketua Umum IDAI dr Piprim Basarah SpA menjelaskan, sejak Januari hingga Selasa (18/10) sudah 20 provinsi yang melaporkan ada kasus gangguan ginjal akut misterius. Sejauh ini sebagian besar penderitanya adalah balita. DKI Jakarta, Jabar, dan Jatim merupakan provinsi dengan jumlah kasus terbanyak.
Hingga berita ini ditulis, IDAI belum bisa memastikan apa penyebab penyakit tersebut. Piprim menceritakan ada satu ibu di Jogjakarta yang menceritakan anak terakhirnya terkena penyakit misterius ini. Kasus ini bermula ketika tiga kakak si bayi tujuh bulan itu mengalami batuk pilek. "Adiknya tertular. Tidak diobati dengan parasetamol, tapi terkena gangguan ginjal misterus lalu meninggal," ujarnya.
Sebelumnya ada indikasi bahwa penyebab gangguan ginjal akut itu karena obat batuk. Seperti kasus di negara Gambia. Namun jika merujuk kasus di Jogjakarta, maka alasan tersebut bisa ditampik. "Makanya kami belum konklusif," tegas Piprim.
Ada lagi dugaan disebabkan oleh sindrom inflamasi multisitem (MISC). Ini yang menjadi penyebab dugaan ada kaitan dengan Covid-19. Kenyataannya, ada pasien yang sudah diberikan terapi untuk MISC. Nyatanya juga tidak kunjung membaik. “Karena beberapa daerah laporannya berbeda. Ini masih misteri," bebernya.
IDAI memilih berhati-hati. Belajar dari Gambia yang sudah menyatakan bahwa gangguan ginjal akut misterius ini karena kandungan yang ada dalam obat paracetamol sirup, maka IDAI tidak lagi merekomendasikan penggunaan obat tersebut untuk beberapa waktu ke depan. Piprim menegaskan himbauan ini bukan berarti merujuk kesimpulan penyakit misterius ini disebabkan oleh kandungan dalam obat-obatan tertentu.
Selanjutnya, Piprim mengungkapkan pihaknya tidak bisa memberikan data secara realtime. Data yang dilaporkan berasal dari anggota IDAI di setiap wilayah. Sehingga jumlah pasti pasien yang mengalami gangguan ginjal akut misterius ini juga masih misterus.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI dr Eka Laksmi Hidayati SpA mengajak agar orang tua sadar secara dini jika ada perubahan pada buah hati. Jika ada penurunan urinisasi dalam enam jam, sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit. Sehingga dokter bisa mendiagnosa apakah ada penurunan fungsi ginjal.
Jika hasil pemeriksaan menunjukkan ginjal si kecil terganggu hingga stadium tiga, artinya sampah dalam ginjalnya tidak bisa dibuang. Sehingga dokter harus memberikan terapi cuci darah. Sayangnya, tidak semua rumah sakit bisa mengerjakan cuci darah untuk anak. “Kalau memang kondisi masih dini, semoga respon pengobatan jadi lebih baik," ujarnya.
Kasus gangguan ginjal akut atipikal atau gangguan ginjal akut misterius pada anak dilaporkan terus meningkat. Pemerintah didesak untuk melakukan penyelidikan maksimal guna diketahui penyebabnya dan bagaimana penanggulangannya.
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan, WHO sejatinya telah memiliki berbagai pedoman untuk menangani kejadian ledakan penyakit, antara lain dalam bentuk “WHO Outbreak Toolkit". Ada enam pertanyaan yang bisa digunakan untuk memulai investigasi dalam mengetahui hal misterius. "Termasuk gangguan ginjal yang kini cukup meresahkan masyarakat," ujarnya.
Pertama, who. Siapa yang terserang penyakit ini. Ada tiga rinciannya, demografi seperti umur dan jenis kelamin, paparan rinci tentang gejala dan tanda penyakit pada masing-masing pasien, serta berapa jumlah kasus dan kematian yang sebenarnya terjadi. "Dan bukan yang hanya terlaporkan saja," katanya.
Lalu, lanjut dia, pertanyaan kedua yang harus dijawab adalah where. Di mana, pertanyaan ini juga dirinci dalam tiga hal. Mulai dari tempat terjadinya, bagaimana gambaran epidemiologis tempat/area yang melaporkan kasus, dan seberapa luas area yang ada pasiennya.
"Pertanyaan ketiga, what. Ini dirinci menjadi dua. Apa sebenarnya penyakitnya dan apa penyebab kematian? Serta apakah ada produk atau kebiasaan tertentu yang diduga menjadi penyebab penyakit?" papar mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara.
Ketiga pertanyaan tersebut kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan keempat mengenai bagaimana hubungan/ kesamaan antara kasus-kasus yang ada, baik pola etnik, kebiasaan, atau riwayat penyakit, makanan, pola tempat tinggal dan lainnya. Lalu, berapa banyak masyarakat yang ber risiko jatuh sakit, selain kasus yang sudah ada.
Apakah ada sesuatu kejadian khusus sebelum mulai dilaporkannya lonjakan kasus sekarang ini. "Pertanyaan kelima tentang kapasitas respon mengatasi keadaan dan keenam, tentang persepsi dari petugas lapangan yang menangani kasus," ungkap Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit Kemenkes tersebut.
Sementara itu, Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Ngabila Salama mengatakan, sejak Januari hingga 18 Oktober 2022, ada 49 kasus gagal ginjal misterius yang ditemukan di DKI Jakarta. Dari jumlah tersebut, 36 kasus merupakan balita dan sisanya, 13 nonbalita. Di mana, 67 persen merupakan laki-laki dan 33 persen perempuan. "Status akhir, 25 meninggal, 12 dalam perawatan dan 12 sembuh," ungkapnya.
Dia menjelaskan, berdasarkan lokasi domisili, sebetulnya sebagian besar berasal dari luar DKI Jakarta. Tercatat, 27 anak ini berasal dari Banten 8 kasus, Jawa Barat 14 kasus, dan 5 kasus luar Jabodetabek. Sementara dari Jakarta hanya 22 kasus.
Lalu, untuk sebarannya, kasus mulai terpantau sejak Januari. Terdapat dua kasus. Hingga Juli, belum ada kenaikan signifikan. Kasus terdeteksi sekitar 7 kasus dalam kurun waktu enam bulan tersebut. Kemudian meningkat tajam sejak Agustus. Ada 10 kasus yang dilaporkan. Kondisi September pun tak jauh beda, tercatat 19 kasus gagal ginjal akut misterius terjadi pada anak. "Oktober ini ada 7 kasus," katanya.
Menurutnya, gangguan ginjal akut misterius ini masih terus diinvestigasi lebih lanjut. Saat ini, Kemenkes sebagai leader investigasi penyebab pasti kenaikan kasus gagal ginjal akut pada anak masih terus bekerja. "Kita tunggu dan pantau bersama info dari Kemenkes," tuturnya.
Kendati demikian, ia meminta, agar para orang tua tetap mewaspadai gejala awal penyakit misterius ini. Salah satunya, intensitas buang air kencing berkurang. Menurutnya, orang tua harus tahu frekuensi pipis buah hatinya. "Kalau biasa pakai pampers, itu bisa dilihat juga dari urine yang lebih sedikit dan lebih pekat. Atau bahkan tidak kencing sama sekali," paparnya.
Selain itu, gejala lainnya yang dapat diwaspadai adalah demam, diare, hingga muntah-muntah. Orang tua diminta segera membawa anaknya ke fasilitas kesehatan jika menemukan gejala-gejala tersebut pada buah hatinya. Dia mengatakan, puskesmas di Jakarta sudah sudah melayani pemeriksaan gangguan ginjal akut secara gratis.
Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati mengatakan, pemerintah bisa melibatkan BPOM dalam satuan tugas bersama antara Kemenkes, RSCM dan IDAI dalam mengatasi kasus gagal ginjal akut yang menimpa 130 anak di Indonesia.
Kurniasih menyatakan, kasus anak-anak yang menderita gagal ginjal akut harus jadi perhatian serius. Ia meminta semua sektor bisa dilibatkan, termasuk BPOM. Menurut dia, berkaca dari kasus yang sama di Gambia yang menurut WHO disebabkan oleh obat-obatan anak. “Maka perlu melibatkan BPOM guna memastikan semua peredaran obat anak yang beredar di Indonesia," terang politisi PKS itu.
Gugus tugas perlu mendorong BPOM untuk melakukan pemeriksaan kembali atas kandungan obat untuk anak yang diduga menjadi pemicu gagal ginjal akut, termasuk obat-obatan anak yang dijual bebas.
Legislator asal Dapil DKI Jakarta II itu menyebut, meski di Indonesia penyebabnya masih menjadi misteri, tapi pelibatan semua stakeholder bisa dilakukan sejak dini untuk melakukan mitigasi di semua sektor.
Dari sisi penelitian, kata Kurniasih, perlu melihat lebih pasti apa penyebabnya. Menurutnya, komunikasi dengan WHO perlu dilakukan. Perlu juga belajar dari Gambia yang sudah lebih dulu memiliki kasus yang sama. “Setelah tata laksana diterbitkan Kemenkes, semua stakeholder harus bersiap diri," ungkapnya.
Kepada para orang tua, Kurniasih berpesan agar selalu berkonsultasi dengan dokter dan tenaga kesehatan dalam memberikan obat-obatan untuk anak-anak. Apalagi kini ada layanan pembelian obat secara daring.
Kurniasih juga meminta agar Kemenkes dan gugus tugas selalu memberikan perkembangan, baik dari penelitian yang dilakukan di Indonesia maupun hasil koordinasi dengan WHO karena ada kemiripan dengan yang terjadi di Gambia.(lum/mia/lyn/jpg)