Obat Covid-19 dari Unair Masih Uji Praklinik

Nasional | Minggu, 14 Juni 2020 - 09:58 WIB

Obat Covid-19 dari Unair Masih Uji Praklinik
ilustrasi

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -  Pengembangan obat untuk Covid-19 merupakan hasil kerja sama antara Universitas Airlangga dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sebagaimana obat-obat lainnya, lima kombinasi obat itu masih harus menjalani serangkaian uji. Sebelum mendapatkan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk diproduksi massal.

Ketua Litbang Stem Cell Unair Dr dr Purwati SpPD K-PTI, FINASIM belum mau memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pengembangan obat tersebut ke depannya. Dia hanya menjelaskan bahwa saat ini obat tersebut belum tersedia di pasaran. ’’Kombinasi obat-obat tersebut belum diperjualbelikan,’’ terangnya.


Informasi yang diperoleh JPG, saat ini obat tersebut masih berada di tahapan uji preklinis. Masih ada serangkaian uji yang harus dilalui sebelum mendapatkan restu dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk diproduksi masal. Untuk memastikan bahwa obat tersebut benar-benar aman untuk diberikan kepada pasien Covid-19.

Langkah serupa dilakukan para peneliti dari berbagai negara. Berani mengumumkan meskipun uji coba masih berlangsung. Baik untuk obat maupun calon vaksin. Namun, otoritas di Unair hingga semalam belum memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai tahap-tahap yang akan dilalui untuk menjadi obat yang paten. Alhasil, masih muncul banyak pertanyaan mengenai tindak lanjut pengembangan obat tersebut.

Yang baru bisa dipastikan adalah klaim hasil penelitian yang menunjukkan kelima obat itu mampu mengeliminasi virus SARS-CoV2 dalam waktu 24-72 jam. Selain itu, virus yang dieliminasi adalah jenis SARS-CoV2 yang berkembang di Indonesia. karena penelitian itu menggunakan virus yang berkembang di tanah air.

Sementara itu, penelitian lima kombinasi regimen obat tersebut diketahui belum melibatkan BPOM. Menurut Kepala BPOM Penny Lukito, penelitian yang dilakukan masih dalam tahap uji coba pra-klinik pada kultur sel dan dengan hasil praklinik. Para peneliti pun berjanji akan melanjutkan ke dalam uji klinik. Informasi ini berdasarkan keterangan yang disampaikan dalam pertemuan dengan beberapa kementerian/lembaga sebelumnya.

Artinya, penelitian terhadap kombinasi obat-obatan tersebut untuk pengobatan Covid-19 belum masuk ke tahap uji klinik. Sementara, klaim sebagai obat hanya bisa dilakukan setelah melewati uji klinik fase 1, 2 dan 3 yang sudah menggunakan pasien manusia.

Nah, semua uji klinik ini harus melewati tahapan evaluasi dari BPOM terkait protokolnya terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk menilai apakah sudah memenuhi prinsip-prinsip cara uji klinik yang baik dan bagaimana prosedur pelaksanaannya. Juga apakah obat yang akan digunakan memenuhi syarat mutu.

Selain itu, apakah obat tersebut diproduksi di fasilitas yang sudah GMP, serta dosis dan efek samping yang mungkin akan ditimbulkan. Tidak ketinggalan, protokol uji klinik tersebut juga sudah harus mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik.

Apabila hasil evaluasi protokol memenuhi syarat, barulah BPOM akan mengeluarkan izin kepada peneliti untuk memulai penelitian dalam bentuk Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik. Selanjutnya, selama uji klinik berlangsung, BPOM akan melakukan inspeksi ke fasilitas penelitian. Itu untuk memastikan bahwa pelaksanaan uji klinik telah sesuai dengan protokol.

Hasilnya kemudian direview oleh BPOM bersama tim untuk memastikan keamanan, mutu, khasiat, serta benefit (kemanfaatan) melebihi risikonya dari produk yang diuji tersebut. ”Jadi belum bisa dikatakan bahwa kombinasi obat-obat tersebut terjamin berkhasiat dan aman digunakan untuk Covid-19,” ujarnya.

Penny menjelaskan, obat-obatan tersebut sejatinya merupakan bentuk sediaan tunggal yang telah mempunyai khasiat sebagai obat antibakteri/antivirus  HIV dan  obat malaria. Obat-obat ini juga telah mendapat izin penggunaan emergency sebagai obat untuk penanganan Covid-19. Tetapi, ketika digunakan dalam bentuk kombinasi harus dibuktikan dahulu dengan uji klinik khasiat dan keamanannya saat digunakan bersama-sama dalam dosis yang dibuat tersebut.

Setelah diperoleh data yang valid dari uji klinik obat-obatan tersebut, baru dapat ditarik kesimpulan apakah kombinasi obat-obatan tersebut berkhasiat dan aman digunakan pada pasien Covid-19. ”Jika diklaim sebagai obat Covid-19 dalam kombinasi dalam satu sediaan (gabung) harus melalui uji klinik yang lengkap dulu,” tegasnya.

Namun tata cara untuk pelaksanaan uji klinis obat ini agak berbeda untuk herbal. Beberapa fleksibilitas diberikan bila bahan uji sudah empiris dan sudah memiliki izin edar sebagai Jamu. Fleksibilitas ini diberikan berupa uji pra klinik dapat tidak dilakukan, dosis uji pada manusia dapat menggunakan dosis pada penggunaan empiris, dan dapat langsung dilakukan uji klinik fase II.

Diakuinya, meningkatnya kasus Covid-19 saat ini dan belum ditemukannya obat pencegahan maupun terapi mendorong adanya penggunaan obat bahan alam sebagai salah satu upaya dalam menghadapi Covid-19. Pemanfaatan obat bahan alam ini bertujuan untuk menjaga daya tahan tubuh, sebagai bagian dari upaya preventif dan upaya meringankan atau meredakan gejala penyakit.

Namun, ketika ada klaim sebagai antivirus corona, dia memastikan bahwa sampai saat ini belum ada produk obat herbal yang disetujui untuk klaim tersebut. ”Klaim sebagai antivirus merupakan klaim tinggi yang memerlukan pembuktian sampai dengan uji klinik,” papar alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut.

Penny mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk mendorong setiap penelitian yang dilakukan berbagai instansi termasuk penelitian Obat Modern Asli Indonesia (OMAI). BPOM juga akan melakukan pendampingan pada peneliti dan pelaku usaha sejak penyusunan protokol uji hingga pelaksanaan uji klinik.

Saat ini sendiri, BPOM tengah mendampingi penyusunan protokol penelitian terhadap dua produk jamu yang  telah memiliki nomor izin edar (NIE) dari BPOM, Deteflu (POM  TR  152388391) dan Cordycep (POM  TR 162397831))  sebagai immunomodulator  dalam penanganan Covid-19. Di mana penelitian ini juga melibatkan dari peneliti LIPI, PDPOTJI, UGM dan industri PT Kalbe Farma. Uji klinik ini juga melibatkan dokter di RS Darurat Wisma Atlet Kemayoran sebagai site uji klinik.

Di sisi lain, mengenai keterlibatan BIN, sejak awal BIN terlibat dalam sejumlah upaya penanganan pandemi Covid-19. Bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (GTPPC), BIN ikut bergerak. Selain terlibat dalam upaya tracing kontak dekat pasien, ada pula pengiriman bantuan alat. Salah satunya mobil laboratorium yang dikirim ke Surabaya beberapa waktu lalu.

BIN tampak terlibat dari hulu hingga ke hilir dalam upaya penanganan Covid-19. ’’Ujungnya bagaimana kita bisa melakukan upaya penyembuhan bagi Covid-19 ini,’’ terang Sekretaris Utama BIN Komjen Polisi Bambang Sunarwibowo. Karena itulah, pihaknya bekerja sama dengan Unair untuk secepatnya mengembangkan obat bagi penyembuhan Covid-19.

Dalam kerja sama dengan Unair, bentuknya adalah penelitian terhadap obat-obat yang sudah tersedia di pasaran. ’’Bagaimana efektivitasnya dalam penyembuhan kepada pasien ciovid-19 ini,’’ lanjut Bambang. Hasilnya, didapatkan lima kombinasi obat yang diklaim mampu mengeliminasi virus SARS-CoV2 sampai tidak lagi terdeteksi dalam tubuh.

Kelima kombinasi obat itu adalah Lopinavir/ritonavir dan azithromicyn; lopinavir/ritonavir doxycycline; lopinavir/ritonavir dan clarithromycin; hydroxychloroquine dan azithromicyn; serta hydroxychloroquine dan doxycycline. ’’Ini sudah diuji pada sel yang mengandung virus Covid-19 khas Indonesia. Terbukti dengan efektivitas yang lebih tinggi dibanding obat lainnya,’’ terang Rektor Unair Prof Mohammad Nasih.(byu/mia/jpg)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook