JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Sidang gugatan SK 287 Tahun 2022 tentang KHDPK oleh Serikat Karyawan (Sekar) Perum Perhutani kembali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Senin (13/2/2023) dengan agenda mendengarkan keterangan ahli yang diajukan oleh tergugat KLHK.
Tim kuasa hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK) menghadirkan dua orang ahli yakni Ahli Kebijakan Kehutanan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof San Afri Awang dan Ahli Hukum Administrasi Negara dari Universitas Indonesia (UI), Prof. Tri Hayati.
Di hadapan Majelis Hakim dan Tim Kuasa Hukum penggugat dari kantor hukum Integrity Law Firm, Prof San Afri dengan tegas mengatakan bahwa kebijakan KHDPK merupakan sebuah corrective action yang dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka penataan hutan di Jawa.
Dengan lahirnya KHDPK ini mengurai satu persatu persoalan dan konflik ditengah masyarakat yang selama ini menumpuk.
"Persoalan konflik yang sudah terjadi menahun dan tidak terselesaikan, Tingginya angka kemiskinan masyarakat yang hidup di dalam dan disekitar Kawasan hutan memerlukan terobosan kebijakan melalui KHDPK," jelas Prof San Afri.
Lebih rinci, Prof San Afri menjelaskan selain mengurus Perhutanan Sosial, ada enam aspek lain yang menjadi diatur oleh KHDP yaitu penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan dan pemanfaatan jasa lingkungan.
"Oleh karena itu Perum Perhutani sebagai entitas bisnis tidak dapat melaksanakan hal tersebut sehingga harus ditata oleh Pemerintah," tegasnya.
Menurutnya, langkah pemerintah dalam menerbitkan SK 287 Tahun 2022 tentang KHDPK dinilai sudah tepat karena mengurangi beban dari Perum Perhutani sendiri.
"Ada 57 KPH (Kemampuan hutan Perhutani-red),tapi yang aktif itu hanya 5 KPH. Ini jadi beban bagi Perum Perhutan," tuturnya.
Mendengar pernyataan itu, Kuasa Hukum Sekar pun mempertanyakan atas data yang disampaikan oleh ahli. "Apakah pernah riset langsung?," tanya dari kantor hukum Integrity Law Firm itu.
"Secara pribadi saya dan mahasiswa saya pernah 10 tahun meneliti langsung di Perum Perhutani ini di KPH Madiun. Tentu kami lihat ini Perum Perhutani secara keseluruhan, karena ini hanya pilot projek," terangnya.
Oleh karena itu, dampak positif dari perhutanan sosial telah meningkatkan luas lahan kelola masyarakat sebesar 10 kali lipat sehingga masyarakat desa meningkat perekonomiannya sebesar 3 kali lipat.
"Penelitian kami menjelang KHDPK itu, kami sudah mengkaji. Jadi ini bukan rencana baru, tapi memang dari sejak lama," pungkasnya.
Senada, Ahli Hukum Administrasi Negara, Prof. Tri Hayati menjelaskan bahwa pembentukan keputusan tunduk pada UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dengan mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik termasuk SK 287 Tahun 2022.
Ia juga menegaskan, pejabat pemerintah berwenang untuk melakukan sebuah diskresi Ketika terjadinya kekosongan hukum atau force majeur dengan mendasarkan pada asas doelmatigheid dan rechtmatigheid.
"Tiga ukuran suatu keputusan pejabat tata usaha negara dianggap cacat apabila melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 52 UU 30 Tahun 2014 antara lain, pejabat yang menerbitkan berwenang, sesuai prosedur dan substansi keputusan sesuai dengan peraturan perundang-undangan," jelasnya.
Terkait kurangnya sosialisasi terkait SK 287 Tahun 2022 yang menjadi salah satu keberatan penggugat juga dijelaskan dengan terang. Bahwa tidak dilaksanakan sosialisasi suatu keputusan tidak mempunyai dampak hukum karena dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang.
"Munculnya penetapan KHDPK merupakan kebijakan korektif dalam pengelolaan hutan Jawa," pungasnya.
Laporan: Yusnir (Jakarta)
Editor: E Sulaiman