JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Ferdy Sambo berdiri mematung ketika majelis hakim membacakan amar putusan di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin (13/2). Mantan petinggi Polri yang duduk sebagai terdakwa perkara pembunuhan berencana Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat itu dihukum dengan pidana mati.
Dalam perkara yang sama, Putri Candrawathi divonis hukuman 20 tahun penjara.
Vonis terhadap pasangan suami istri ini lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umun (JPU) yang sebelumnya menuntut hukuman penjara seumur hidup buat Sambo dan penjara 8 tahun kepada Putri. Vonis mati terhadap Sambo tersebut, bukan vonis mati pertama untuk polisi. Ada beberapa kasus lainnya yang telah memvonis anggota polisi yang terlibat dalam tindak pidana. ''Bukan vonis mati pertama untuk polisi,'' ujar Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso.
Namun, begitu Sambo merupakan perwira tinggi (pati) Polri pertama yang divonis mati. Walau masih ada proses hukum lainnya, seperti banding dan kasasi. ''Pati pertama divonis mati, tapi ingat ini belum berkekuatan hukum tetap,'' terang Sugeng.
Sebelumnya, di masa orde baru terdapat pati Polri bernama Brigjen R Soetarto, mantan Kepala Staf Biro Intelijen yang diduga terlibat G30S/PKI. Namun, mendapat grasi seumur hidup. ''Jelang usia tua dan sakit mendapatkan amnesti,'' paparnya.
Untuk anggota polisi yang dengan pangkat yang lebih rendah, setidaknya terdapat tujuh orang yang divonis mati. Yakni, Aipda Roni Syahputra dalam kasus pemerkosaan dan pembunuhan. Lalu, Kanit I Satres Narkoba Polres Tanjung Balai Aiptu Wariono, Komandan Kapal Polair Polres Tanjung Balai Brigpol Tuharno, dan anggotanya Bripka Agung Sugiarto Putra. Ketiganya terlibat dalam satu kasus penyisihan barang bukti 19 kg sabu.
Lalu, ada pula dua anggota polisi dari Depok bernama Faisal dan Hartono. Keduanya terlibat penyelundupan 38 kg sabu. Terakhir anggota polisi Dumai bernama Rapi Rahmat Hidayat yang terlibat penyelundupan 10 kg sabu. ''Semua vonis mati,'' tuturnya.
Sugeng menuturkan, vonis hukuman mati terhadap Sambo tersebut memang harus dihormati. Namun, putusan tersebut memang problematik. ''Majelis hakim sama sekali tidak memasukkan hal-hal meringankan, seperti sopan di persidangan, belum pernah dihukum dan sebagainya,'' terangnya.
Putusan mati tersebut, lanjutnya, karena tekanan publik sekaligus pemberitaan yang begitu masif. Untuk IPW menilai kejahatan yang dilakukan Sambo tidak layak dihukum mati. ''Hakim tidak bisa melepaskan diri dari tekanan tersebut,'' ujarnya dalam keterangan tertulisnya, kemarin.
Vonis terhadap Sambo dan Putri dibacakan langsung Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso. ''Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati,'' tegas Wahyu. Menurut majelis hakim, Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah atas perbuatannya. ''Melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan tindakan yang berakibat sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya,'' beber dia.
Tidak lama setelah memvonis Sambo, hakim Wahyu bersama dua hakim anggotanya menyidangkan Putri. Serupa dengan suaminya, Putri dinyatakan bersalah oleh majelis hakim.
''Menyatakan terdakwa Putri Candrawathi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana,'' ungkap dia. “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Putri Candrawathi dengan pidana penjara selama 20 tahun,'' tambah Wahyu.
Dalam sidang tersebut, keluarga Yosua turut hadir di ruang utama PN Jaksel. Ibunda Yosua, Rosti Hutabarat, yang mendengar hakim membacakan vonis terhadap Putri sontak bereaksi.
''Putri, ini Yosua yang kau bunuh. Derita anakku itu. Mana ajudanmu yang terbaik itu, Putri,'' teriak Rosti. Sejak putranya meninggal dunia, dia menjadi yang paling terpukul. Rosti tidak berhenti menangis histeris saat mendapati Yosua meninggal dunia. Pun demikian ketika Yosua dimakamkan tahun lalu.
Melalui putusan tersebut, majelis hakim menyatakan bahwa tidak ada alasan pembenar dan pemaaf atas perbuatan Putri. Mereka juga tegas menyatakan tidak ada hal yang meringankan untuk ibu empat anak tersebut. Sebaliknya, hakim membeber beberapa hal yang memberatkan Putri. Di antaranya saat peristiwa pembunuhan berencana terjadi, Putri merupakan istri seorang kepala Divisi Propam Polri sekaligus pengurus di Bhayangkari. Di organisasi istri-istri polisi itu, Putri bertugas sebagai bendahara umum. ''Seharusnya menjadi teladan dan contoh anggota Bhayangkari lainnya sebagai pendamping suami,'' beber dia.
Lebih lanjut, majelis hakim menilai, perbuatan terdakwa mencoreng nama baik organisasi Bhayangkari. Tidak hanya itu, Polri berbelit-belit dan tidak berterus terang dalam persidangan. ''Sehingga menyulitkan jalannya persidangan,'' jelas Wahyu.
Hal lain yang memberatkan Putri adalah dia tidak mengakui kesalahan dan memposisikan diri sebagai korban. ''Perbuatan terdakwa telah berdampak dan menimbulkan kerugian yang besar berbagai pihak. Baik materil maupun moril, bahkan memutus masa depan banyak personel kepolisian,'' beber dia.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyampaikan bahwa putusan kemarin merupakan rasa keadilan di masyarakat yang ditangkap oleh majelis hakim. Namun demikian, Sambo masih punya kesempatan untuk mengajukan upaya hukum berikutnya. Baik banding di Pengadilan Tinggi Jakarta dan kasasi di Mahkamah Agung (MA). ''Majelis hakim sudah secara jelas menyatakan bahwa tidak ada hal yang meringankan sama sekali,'' ujarnya.
Bahkan, dalam persidangan kemarin majelis hakim tidak melihat ada penyesalan dari Sambo atas tindakan yang dilakukan terhadap Yosua.
''Karena itu, hukumannya maksimal (pidana) mati,'' ungkap Fickar. Terpisah Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana menyatakan bahwa pihaknya mengapresiasi putusan yang telah dibacakan oleh majelis hakim terhadap Sambo. ''Kami masih menunggu upaya-upaya berikutnya dari terdakwa,'' kata dia.
Pihaknya menghormati seluruh pertimbangan dan fakta hukum yang tersaji sepanjang persidangan dan dipertimbangkan oleh majelis hakim untuk memutus perkara tersebut. ''Kami mengapresiasi pertimbangan dan fakta hukum yang kami sajikan dalam surat tuntutan dipertimbangkan dalam putusan majelis hakim,'' ujarnya.
Sementara itu, Arman Hanis sebagai penasihat hukum Sambo menyatakan bahwa putusan yang telah dibacakan untuk kliennya sepenuhnya menjadi kewenangan majelis hakim. ''Tapi, ada beberapa pertimbangan menurut kami itu tidak berdasarkan keputusan, berdasarkan asumsi, dan kami melihat hakim dalam tekanan,'' ungkap dia.
Namun demikian, pihaknya belum bisa merespons putusan tersebut, termasuk mengambil langkah hukum banding ke PT Jakarta. ''Nanti kami pertimbangkan semua itu,'' jelas dia.
Menurut Arman, sampai kemarin pihaknya belum menerima salinan putusan secara lengkap. Dia menyatakan, sejak awal pihaknya tidak berharap banyak terhadap sidang yang berjalan di PN Jaksel tersebut. Dia menilai, dalam putusan kemarin banyak hal yang tidak sesuai fakta persidangan.
Namun, Arman mengakui, Sambo sudah siap dengan risiko tertinggi atas perbuatannya. Khusus untuk putusan Putri, Arman menyatakan bahwa kliennya kecewa. ''Tidak ada yang meringankan itu jadi pertanyaan juga buat kami,'' jelas dia. Seperti Sambo, hukuman untuk Putri juga jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Dalam tuntutannya, jaksa menuntut Putri delapan tahun penjara. Sementara bunyi putusan untuk Putri jauh di atas itu.
Sementara anak Sambo, Trisha Eungelica menjadi sorotan warganet karena mengunggah foto pelukan yang nampaknya merupakan foto Sambo dan Putri. Namun, wajah kedua orang tuanya tersebut tidak diperlihatkan.
Trisha mengunggah foto tersebut beberapa jam jelang vonis Sambo. Dalam postingan tersebut, Trisha menambahkan sebuah keterangan. ''220213-iloveyouboth,'' tulisnya, dikutip dari akun Instagram@trishaeas. (idr/syn/das)
Laporan JPG, Jakarta