JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sedang menyoroti keberadaan platform film berbayar Netflix di Indonesia. Selain persoalan pajak, konten-kontennya juga menuai reaksi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
KPI juga bahkan pernah mewacanakan penyensoran konten Netflix dengan mengacu pada Undang-Undang Penyiaran. Namun, hingga kini wacana tersebut belum terealisasikan. Wacana itu muncul lantara konten-konten di Netflix dirasa tidak layak diputar di Indonesia, karena itu perlu ada kontrol yang ketat.
Komisioner KPI Yuliandre Darwis mengatakan, pihaknya ingin mendefinisikan penyiaran secara maksimum, secara kompleks. Sehingga tak hanya mencakup pada televisi dan radio, namun melalui media penyiaran lain seperti Netflix.
Dijelaskan Darwis, alangkah baiknya jika ada undang-undang yang bisa mengatur konten yang disiarkan melalui media apapun. Misal televisi, sudah diatur konten dewasa hanya bisa tayang di waktu tertentu.
"Pertanyaannya kalau untuk Netflix gimana, apalagi itu berbayar. Namun kalau ada film-film seperti membunuh yang sadis, melecehkan bangsa, itu harus difilter lah agar cocok dengan bangsa lain," kata Darwis saat dihubungi, Senin (13/1).
Drawis juga berharap, ada diskusi dengan pihak terkait ihwal tayangan atau konten yang akan disiarkan. Karena bukan bermaksud untuk membatasi, tapi mereka harus tahu batasan-batasan.
"Jadi bukan ada pelarangan, tapi harus ada batasan-batasan. Saya harap ada diskusi untuk soal itu," ujarnya.
Hal ini, lanjutnya, untuk menghindari penyalahgunaan Netflix bagi anak-anak. Apalagi sekarang kan juga banyak di remote televisi yang ada "Netflix button".
"Saya harap itu ada semacam password untuk tombol itu, agar tidak semua anak bisa sembarang nonton," katanya.
Sedangkan Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan, pengawasan dari hulu ke hilir terhadap konten di Netflix bisa dengan adanya badan usaha tetap di Indonesia.
"Karena dengan badan usaha tetap, maka mereka akan patuh dan harus patuh pada aturan lokal. Seperti urusan perpajakan, aturan batasan usia, sensor dan bagaimana mereka juga bisa ikut mencerdaskan bangsa dan memberikan porsi yang cukup besar bagi lokal, agar kreativitasnya diakomodasi di Netflix," kata Heru.
Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki aturan mengenai konten internet dan film. Untuk internet, ada UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 yang melarang penyebaran konten pornografi, ujaran kebencian, dan semua hal berbasis Sara. Adapun di perfilman ada klasifikasi usia dan sensor.
Heru juga menegaskan, pada dasarnya konten memang bebas namun terbatas. Salah satunya ada batasan usia dan hal-hal yang tidak pantas maka akan disensor.
"Karena tidak semua penonton adalah di atas 17 tahun dan tidak semua film untuk semua umur," ucapnya.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu memberikan tempat bagi kreator lokal untuk berkreativitas. Meskipun itu ibarat pisau bermata dua.
"Karena kalau kebablasan hal yang negatif akan sangat merugikan. Misal konten seks bebas, konten LGBT," ucapnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi