JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Rancangan Undang-Undang (RUU) Minuman Beralkohol kembali dibahas DPR. Polemik pun muncul. Sebab, RUU tersebut memuat aturan pidana bagi siapa saja yang terbukti mengonsumsi minuman beralkohol alias mihol.
Illiza Sa’aduddin Djamal, anggota DPR yang juga salah seorang penggagas RUU tersebut, menjelaskan bahwa RUU itu telah sesuai dengan mekanisme dan tatatertib DPR. Karena itu, menurut dia, semestinya tidak perlu dipermasalahkan. Illiza juga menekankan bahwa RUU inisiatif DPR tersebut telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020.
"RUU tentang larangan minuman beralkohol telah memenuhi syarat formil untuk diajukan. RUU itu termasuk dalam prolegnas prioritas 2020 nomor urut 36," jelas Illiza kepada Jawa Pos (JPG), Kamis (12/11). Bahkan, RUU tersebut telah disertai naskah akademik.
Illiza menjelaskan, secara garis besar, RUU Mihol akan terdiri atas 7 bab dan 24 pasal. Namun, tidak semuanya mengatur larangan dan hukum pidana dari penggunaan atau peredaran mihol.
"Pasal di dalamnya juga mengatur tentang partisipasi masyarakat. Jadi tidak benar kalau RUU ini dianggap kriminalisasi," lanjutnya.
Malah, Illiza berargumentasi bahwa RUU itu bisa menghindari kriminalisasi yang dilakukan oknum aparat.
"Istilah kriminalisasi dalam hukum itu jika tidak diatur, lalu main tangkap. Tapi, kalau sudah diatur, di mana prosesnya sesuai dengan prosedur pembentukan undang-undang, tidak ada lagi istilah kriminalisasi," terangnya.
Illiza menyebutkan bahwa aturan tentang mihol juga berlaku di negara-negara yang masyarakatnya terkenal aktif mengonsumsi mihol. Salah satunya Jepang. DPR menampung salah satu imbauan duta besar Jepang kepada warganya di Indonesia agar tidak bermain-main dalam penggunaan mihol.
"Pembahasan RUU ini baru sampai pada pengusulan. Jadi tidak perlu khawatir karena masih ada ruang untuk masukan dan penyempurnaan," tutur dia.
Sebelumnya kekhawatiran kriminalisasi itu disampaikan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Mereka menyebutkan bahwa RUU itu bersifat prohibisionis (prohibitionist) atau larangan buta. Sehingga bakal makin banyak orang yang terjerat pidana dan masuk bui. Dalam drafnya, pasal 7 mengatur bahwa setiap orang dilarang mengonsumsi alkohol golongan A, golongan B, golongan C, serta mihol tradisional dan racikan. Apabila melanggar, akan dihukum penjara antara 3 bulan hingga 2 tahun serta denda Rp10–50 juta.
Di sisi lain, Front Pembela Islam (FPI) ikut buka suara terkait pembahasan aturan minuman yang mengandung alkohol. Sekretaris Umum FPI Munarman menegaskan, organisasinya menolak keras segala aturan yang memberi izin peredaran minuman beralkohol di Tanah Air.
"Baik undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden, peraturan menteri, maupun peraturan daerah," jelasnya, kemarin.
Bukan hanya itu, FPI juga meminta pemerintah bersama DPR memberlakukan larangan produksi, distribusi, penjualan, sampai konsumsi mihol. Mereka mengusulkan supaya ada sanksi hukuman cambuk apabila aturan larangan mihol sudah berlaku.
"Hukum cambuk bagi pelanggar UU larangan minuman beralkohol agar memberikan efek jera kepada pemakainya," jelas Munarman.
Lebih jauh lagi, pihaknya mendorong DPR menutup semua celah dan ruang apa pun yang bisa membuka jalan peredaran mihol golongan apa pun di Indonesia. Mereka menilai, dari banyak segi, mihol lebih banyak merugikan masyarakat. Karena itu, FPI sepakat bila ada aturan khusus yang melarang produksi, peredaran, dan konsumsi minuman yang mengandung alkohol.(deb/syn/c9/oni/jpg)