SURABAYA (RIAUPOS.CO) - Terdakwa penganiayaan jurnalis Tempo Nurhadi divonis penjara 10 bulan. Kedua terdakwa, Bripka Purwanto dan Brigadir Muhammad Firman Subkhi terbukti melanggar pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juncto pasal 55 ayat (1) KUHP.
Atas vonis ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendorong jaksa agar mengajukan banding, sementara pengacara terdakwa masih pikir-pikir dulu.
”Terdakwa melakukan tindak pidana. Menjatuhkan hukuman berupa penjara masing-masing selama 10 bulan,” kata ketua Majelis Hakim M Bashir dalam sidang putusan, Rabu (12/1/2022).
Atas penganiayaan yang dilakukan terhadap jurnalis Nurhadi itu, Bripka Purwanto dan Brigadir Muhammad Firman Subkhi juga diwajibkan membayar restitusi kepada korban Nurhadi sebesar Rp 13.813.000. Kemudian kepada Muhammad Fahmi sebesar Rp21.850.000.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito mengapresiasi dukungan yang diberikan oleh berbagai pihak dan jurnalis dari berbagai daerah dalam mengawal penuntasan perkara penganiayaan terhadap jurnalis Tempo, Nurhadi.
Hal ini disampaikan Sasmito seusai menghadiri sidang pembacaan putusan terhadap dua polisi yang menjadi terdakwa dalam perkara tersebut di PN Surabaya.
“Kami berterimakasih atas dukungan dari kawan-kawan semua, semua jurnalis, serta berbagai pihak dalam mengawal perkara ini,” ujar Sasmito.
Sasmito mengatakan, vonis 10 bulan penjara terhadap dua terdakwa sebenarnya belum sesuai harapan AJI yang mendorong agar dua terdakwa divonis maksimal, minimal sesuai dengan tuntutan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“Tetapi ini juga merupakan preseden baru karena pada akhirnya ada polisi yang menjadi aktor kekerasan terhadap jurnalis, yang dibawa ke pengadilan lalu divonis bersalah dan dijatuhi hukuman. Kami berharap tidak ada lagi kekerasan terhadap jurnalis,” katanya.
Sasmito juga mendesak aparat penegak hukum untuk mengembangkan perkara ini mengingat masih banyak pelaku lain yang belum terungkap, termasuk sosok yang memerintahkan Purwanto dan Firman Subkhi.
“Berdasarkan fakta persidangan dan berdasarkan pengakuan korban Nurhadi, masih ada belasan pelaku lain yang belum diusut. Karena itu kami mendesak agar aparat penegak hukum mengembangkan perkara ini dan mengusut para pelaku lainnya,” imbuh Sasmito.
Ketua AJI Surabaya, Eben Haezer menambahkan, vonis yang dijatuhkan majelis hakim ini belum final. Pihaknya akan mendorong agar jaksa mengajukan banding.
“Selesai sidang tadi, kami mengenakan ikat kepala hitam sebagai simbol bahwa vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa belum sesuai harapan kami yang mengharapkan vonis maksimal. Kami akan mendorong agar jaksa mengajukan banding,” kata Eben.
Dalam sidang tersebut, majelis hakim menyatakan terdakwa Purwanto dan Firman Subkhi bersalah melanggar pasal 18 ayat (1) UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Selain divonis 10 bulan penjara, dua terdakwa juga diwajibkan membayar restitusi kepada Nurhadi sebesar Rp13.813.000 dan kepada saksi F sebesar Rp21.850.000.
Vonis terhadap dua terdakwa ini lebih rendan dari tuntutan JPU yakni 1 tahun 6 bulan penjara. Terkait vonis tersebut, pengacara Nurhadi dari Federasi KontraS, Fatkhul Khoir, menganggap bahwa vonis tersebut mencederai rasa keadilan bagi jurnalis.
“Seharusnya hakim bisa melihat secara jernih bahwasanya pelaku adalah penegak hukum. Seharusnya hakim dapat menjadikan ini pertimbangan untuk memperberat hukuman,” kata Fatkhul Khoir.
Sedangkan pengacara Nurhadi dari LBH Lentera, Salawati Taher, juga menganggap janggal tidak adanya perintah penahanan atas Purwanto dan Firman Subkhi.
“Karena dengan demikian, bila terpidana-terpidana tersebut banding, maka NH masih akan tetap dalam lindungan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dan belum bisa bekerja kembali,” ujar Salawati.
Seperti diketahui, pada 27 Maret 2021, jurnalis Tempo Nurhadi dianiaya sekelompok orang saat meliput di Gedung Samudra Bumimoro yang terletak di Jl Moro Krembangan, Kecamatan Krembangan, Surabaya, Jawa Timur. Saat itu, Nurhadi mendatangi gedung tersebut untuk melakukan investigasi terkait kasus dugaan suap yang dilakukan oleh Direktur Pemeriksaan Ditjen Pajak Kemenkeu, Angin Prayitno Aji yang sedang ditangani KPK.
Di lokasi tersebut sedang berlangsung resepsi pernikahan antara anak Angin Prayitno Aji dan anak Kombes Pol Achmad Yani, mantan Karo Perencanaan Polda Jatim.
Saat itu, Nurhadi yang kedapatan memotret Angin Prayitno Aji yang sedang berada di atas panggung pelaminan, kemudian ditarik, dipiting, dipukul oleh beberapa orang lalu dibawa ke gudang di belakang tempat resepsi. Di sana, dia disekap, diinterogasi, dan dipaksa membuka isi ponselnya. Seluruh data di ponsel dihapus dan simcard HP Nurhadi dirusak.
Selain itu, pelaku juga membawa Nurhadi ke sebuah hotel dan memaksa Nurhadi untuk memastikan bahwa foto yang dia ambil di lokasi resepsi tidak sampai dipublikasikan di Tempo.
Kasus ini kemudian bergulir di Pengadilan Negeri Surabaya setelah dilaporkan ke Polda Jatim oleh Nurhadi yang didampingi Aliansi Anti Kekerasan Terhadap Jurnalis. Aliansi ini beranggotakan AJI Indonesia, AJI Surabaya, LBH Lentera, Federasi KontraS, LBH Pers, dan LBH Surabaya.
Di sisi lain, terhadap putusan itu, pengacara terdakwa Joko Cahyono mengaku kaget. Sebab menurut Joko, tindakan yang dilakukan terdakwa tidak terbukti.
”Kami kaget ya karena itu bukan perbuatannya (terdakwa) untuk menghalang-halangi. Fakta sidang dengan saksi ini sebenarnya sudah menyatakan secara materiil tidak ada perbuatan menghalangi,” kata Joko.
Jurnalis Nurhadi mengalami penganiayaan ketika akan mewawancarai Angin Prayitno Aji, direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak periode 2016–2019. Pada 27 Maret 2021, Nurhadi bermaksud menemui Angin di acara pesta pernikahan di Graha Samudera, Bumimoro, Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan dan Latihan TNI AL. Saat itu, Nurhadi bermaksud menginvestigasi kasus suap pajak yang diduga menyeret nama Angin.
Menurut Joko, apa yang disangkakan pada kedua terdakwa tidak benar. Terlebih kedua terdakwa telah berupaya melakukan penyelesaian persuasif dan menyelesaikan kasus itu dengan Nurhadi di salah satu hotel di Surabaya.
”Selesai dengan salaman. Besoknya muncul niat melaporkan,” ucap Joko.
Ditanya Soal dakwaan penganiayaan, Joko mengatakan, majelis tidak meyakini hal itu. Namun Joko tidak tahu lebih dalam.
”Majelis hakim itu bahkan tidak meyakini kedua terdakwa pelaku (kekerasan yang dibuktikan) visum itu,” terang Joko.
Ditanya bagaimana keputusan sebagai kuasa hukum terdakwa, Joko mengaku akan mengambil sikap pikir-pikir.
”Pikir-pikir. Sepertinya iya,” ujar Joko.
Sumber: Jawapos.com/Berbagai Sumber
Editor: Eka G Putra