SEBUT PINTU SUDAH DIBUKA, MINTA POLISI BUKA CCTV

Ketua Panpel Klaim Telah Ingatkan Tak Pakai Gas Air Mata

Nasional | Sabtu, 08 Oktober 2022 - 12:00 WIB

Ketua Panpel Klaim Telah Ingatkan Tak Pakai Gas Air Mata
MALANG, (RIAUPOS.CO) - Enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka Tragedi Kanjuruhan. Satu dari enam tersangka yakni Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Arema FC Abdul Haris membela diri dan mengklaim sudah mengingatkan pihak kepolisian agar tidak pakai gas air mata. Dia menuturkan, sebelum ada peristiwa gas air mata, pihaknya memberikan peringatan kepada Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat (sekarang telah dicopot). Sebab, penembakan gas air mata pernah terjadi pada 2018 di stadion yang sama dalam pertandingan melawan Persib Bandung. Saat itu dia melihat banyak korban yang sesak napas dan matanya perih. Plus ada satu korban jiwa juga saat itu. "Saya minta saat itu tolong jangan diulangi (penembakan gas air mata). Sudah saya ingatkan," jelasnya, Jumat (7/10). Pria yang juga mendapat sanksi dari Komdis PSSI tidak boleh berkecimpung di sepakbola seumur hidup itu menambahkan, pihaknya sudah melengkapi semua perizinan untuk pertandingan. Mulai surat izin dari satgas Covid-19, izin penggunaan stadion, hingga surat izin kepada Polres Malang dan Polda Jawa Timur untuk rekomendasi dan bantuan keamanan sepuluh hari sebelum pertandingan. Masalah tiket, dia mengakui mencetak tiket full kapasitas. Artinya, sebanyak 42 ribu. "Dalam perkembangannya, tanggal 29 September, Pak Kapolres meminta agar mengurangi tiket menjadi 38 ribu," katanya. Bagian tiket Arema FC pun sudah mengonfirmasi kepada Kapolres Malang. "Namun, ada arahan dari (bagian) tiket tetap dijual sesuai dengan pesanan Aremania," lanjutnya. Pada 1 Oktober, di hari pertandingan, Haris menjelaskan, pertandingan sebenarnya berjalan lancar sejak menit awal. Titik alur keluar masuk juga disiapkan. Dia juga sudah mempersiapkan empat ambulans. Perinciannya, dua di dalam stadion, sisanya stand by di luar stadion. "Sepuluh menit sebelum pertandingan selesai, pintu juga sudah dibuka sesuai prosedur," tambahnya. Haris menegaskan, hal tersebut sesuai dengan fakta bahwa pintu memang terbuka 10 menit sebelum pertandingan selesai. Itu sudah sesuai dengan SOP (standard operating procedure). "Kalau ada oknum yang menutup, kan itu ada CCTV. Laporan dari Pak Suko sebagai security officer bahwa pintu sudah terbuka," katanya. Haris juga meminta ada autopsi kepada 131 korban jiwa dalam tragedi sepakbola terburuk di Tanah Air tersebut. Taufik Hidayat, kuasa hukum Abdul Haris, menambahkan, penjelasan kliennya sudah diberikan juga kepada pihak kepolisian ketika diperiksa pada Kamis (6/10). Jika ada perbedaan pendapat soal pintu gerbang, dia meminta polisi membuka rekaman CCTV kepada publik. "Agar tidak ada perbedaan pendapat. Dibuka saja CCTV-nya," ujarnya. Dari pengamatan Jawa Pos (JPG) di Stadion Kanjuruhan, tiap pintu keluar stadion memang terdapat CCTV. Jika benar pintu dibuka sepuluh menit sebelum pertandingan, seharusnya hal tersebut terekam di CCTV. Letak CCTV pas berada di depan pintu keluar. Sementara itu, anggota tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF) Doni Monardo mengunjungi Stadion Kanjuruhan kemarin. Dia mengecek satu per satu lokasi di dalam stadion. Sekitar satu jam, tiap titik dalam stadion diamatinya. Ditanya Jawa Pos (JPG) setelah berkeliling Stadion Kanjuruhan, Doni mengatakan bahwa dirinya datang untuk terus mengumpulkan bukti dan fakta. Khususnya yang menjadi penyebab banyaknya korban tewas. "Tim sudah bertemu sejumlah pakar untuk memahami apa yang terjadi, terutama kepada warga yang wafat," terangnya. Doni menambahkan, temuan yang didapatnya kemarin adalah pintu 12 dan 13 yang memakan banyak korban dalam kondisi tertutup. Karena itu, pihaknya berencana segera mengumpulkan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas hal tersebut. Penggunaan pasal kealpaan atau kelalaian dianggap belum menunjukkan keseriusan Polri dalam mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan. Apalagi, belum ada satu pun aparat keamanan di lapangan yang jelas-jelas menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton dan mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa yang menjadi tersangka. Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi mengatakan, bangunan konstruksi perkara dengan pasal kelalaian sebagaimana diatur dalam Pasal 359 dan 360 KUHP itu tidak cukup adil untuk mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang. Menurut dia, perbuatan aparat menembakkan gas air mata sejatinya bukan hanya suatu tindak pidana kelalaian, melainkan juga kesengajaan. Karena itu, lanjut Fachrizal, pasal yang mestinya juga digunakan untuk membangun konstruksi penyidikan adalah Pasal 338 dan 354 KUHP. Dengan menerapkan pasal sengaja merampas nyawa orang lain tersebut, konstruksi yang dibangun bisa dipandang berpihak pada korban dan keluarga korban. Sebab, dalam pasal tersebut, ancaman hukumannya lebih berat: lebih dari sepuluh tahun. Sementara itu, jika menggunakan pasal 359 dan 360, perbuatan menghilangkan nyawa karena kelalaian hanya dihukum maksimal lima tahun. "Kalau polisi tetap hanya menggunakan pasal kelalaian, ini jelas tidak logis. Lalai itu bisa diterima kalau tembakan gas air mata yang mestinya diarahkan ke tanah kosong tiba-tiba mantul ke tribun," kata Fachrizal kepada Jawa Pos (JPG), Jumat (7/10). Seperti disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada jumpa pers Kamis (6/10) malam, enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Arema FC Abdul Haris, security officer Suko Sutrisno, Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur AKP Has Darman, Kabagops Polres Malang Wahyu Setyo Pranoto, dan Kasat Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Polisi Bambang Sidik Achmadi.(rid/edi/tyo/syn/c19/ttg/jpg) (ROBERTUS RISKY/ JPG)

MALANG, (RIAUPOS.CO) - Enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka Tragedi Kanjuruhan.  Satu dari enam tersangka yakni Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Arema FC Abdul Haris membela diri dan mengklaim sudah mengingatkan pihak kepolisian agar tidak pakai gas air mata.

 


Dia menuturkan, sebelum ada peristiwa gas air mata, pihaknya memberikan peringatan kepada Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat (sekarang telah dicopot). Sebab, penembakan gas air mata pernah terjadi pada 2018 di stadion yang sama dalam pertandingan melawan Persib Bandung.

 

Saat itu dia melihat banyak korban yang sesak napas dan matanya perih. Plus ada satu korban jiwa juga saat itu. "Saya minta saat itu tolong jangan diulangi (penembakan gas air mata). Sudah saya ingatkan," jelasnya, Jumat (7/10).

 

Pria yang juga mendapat sanksi dari Komdis PSSI tidak boleh berkecimpung di sepakbola seumur hidup itu menambahkan, pihaknya sudah melengkapi semua perizinan untuk pertandingan. Mulai surat izin dari satgas Covid-19, izin penggunaan stadion, hingga surat izin kepada Polres Malang dan Polda Jawa Timur untuk rekomendasi dan bantuan keamanan sepuluh hari sebelum pertandingan.

 

Masalah tiket, dia mengakui mencetak tiket full kapasitas. Artinya, sebanyak 42 ribu. "Dalam perkembangannya, tanggal 29 September, Pak Kapolres meminta agar mengurangi tiket menjadi 38 ribu," katanya. Bagian tiket Arema FC pun sudah mengonfirmasi kepada Kapolres Malang. "Namun, ada arahan dari (bagian) tiket tetap dijual sesuai dengan pesanan Aremania," lanjutnya.

 

Pada 1 Oktober, di hari pertandingan, Haris menjelaskan, pertandingan sebenarnya berjalan lancar sejak menit awal. Titik alur keluar masuk juga disiapkan. Dia juga sudah mempersiapkan empat ambulans. Perinciannya, dua di dalam stadion, sisanya stand by di luar stadion. "Sepuluh menit sebelum pertandingan selesai, pintu juga sudah dibuka sesuai prosedur," tambahnya.

 

Haris menegaskan, hal tersebut sesuai dengan fakta bahwa pintu memang terbuka 10 menit sebelum pertandingan selesai. Itu sudah sesuai dengan SOP (standard operating procedure). "Kalau ada oknum yang menutup, kan itu ada CCTV. Laporan dari Pak Suko sebagai security officer bahwa pintu sudah terbuka," katanya.

 

Haris juga meminta ada autopsi kepada 131 korban jiwa dalam tragedi sepakbola terburuk di Tanah Air tersebut. Taufik Hidayat, kuasa hukum Abdul Haris, menambahkan, penjelasan kliennya sudah diberikan juga kepada pihak kepolisian ketika diperiksa pada Kamis (6/10).

 

Jika ada perbedaan pendapat soal pintu gerbang, dia meminta polisi membuka rekaman CCTV kepada publik. "Agar tidak ada perbedaan pendapat. Dibuka saja CCTV-nya," ujarnya.

 

Dari pengamatan Jawa Pos (JPG) di Stadion Kanjuruhan, tiap pintu keluar stadion memang terdapat CCTV. Jika benar pintu dibuka sepuluh menit sebelum pertandingan, seharusnya hal tersebut terekam di CCTV. Letak CCTV pas berada di depan pintu keluar.

 

Sementara itu, anggota tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF) Doni Monardo mengunjungi Stadion Kanjuruhan kemarin. Dia mengecek satu per satu lokasi di dalam stadion. Sekitar satu jam, tiap titik dalam stadion diamatinya.

 

Ditanya Jawa Pos (JPG) setelah berkeliling Stadion Kanjuruhan, Doni mengatakan bahwa dirinya datang untuk terus mengumpulkan bukti dan fakta. Khususnya yang menjadi penyebab banyaknya korban tewas. "Tim sudah bertemu sejumlah pakar untuk memahami apa yang terjadi, terutama kepada warga yang wafat," terangnya.

 

Doni menambahkan, temuan yang didapatnya kemarin adalah pintu 12 dan 13 yang memakan banyak korban dalam kondisi tertutup. Karena itu, pihaknya berencana segera mengumpulkan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas hal tersebut.

 

Penggunaan pasal kealpaan atau kelalaian dianggap belum menunjukkan keseriusan Polri dalam mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan. Apalagi, belum ada satu pun aparat keamanan di lapangan yang jelas-jelas menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton dan mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa yang menjadi tersangka.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi mengatakan, bangunan konstruksi perkara dengan pasal kelalaian sebagaimana diatur dalam Pasal 359 dan 360 KUHP itu tidak cukup adil untuk mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang. Menurut dia, perbuatan aparat menembakkan gas air mata sejatinya bukan hanya suatu tindak pidana kelalaian, melainkan juga kesengajaan.

 

Karena itu, lanjut Fachrizal, pasal yang mestinya juga digunakan untuk membangun konstruksi penyidikan adalah Pasal 338 dan 354 KUHP. Dengan menerapkan pasal sengaja merampas nyawa orang lain tersebut, konstruksi yang dibangun bisa dipandang berpihak pada korban dan keluarga korban. Sebab, dalam pasal tersebut, ancaman hukumannya lebih berat: lebih dari sepuluh tahun.

 

Sementara itu, jika menggunakan pasal 359 dan 360, perbuatan menghilangkan nyawa karena kelalaian hanya dihukum maksimal lima tahun. "Kalau polisi tetap hanya menggunakan pasal kelalaian, ini jelas tidak logis. Lalai itu bisa diterima kalau tembakan gas air mata yang mestinya diarahkan ke tanah kosong tiba-tiba mantul ke tribun," kata Fachrizal kepada Jawa Pos (JPG),  Jumat (7/10).

 

Seperti disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada jumpa pers Kamis (6/10) malam, enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Arema FC Abdul Haris, security officer Suko Sutrisno, Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur AKP Has Darman, Kabagops Polres Malang Wahyu Setyo Pranoto, dan Kasat Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Polisi Bambang Sidik Achmadi.(rid/edi/tyo/syn/c19/ttg/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook