JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Petani sawit yang kini telah menjelma sebagai pahlawan devisa nasional bagi Indonesia dari CPO yang diekspor, sudah selayaknya mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah demi kesejahteraan para petani. Bahkan dari CPO yang diekspor juga telah dikenakan dana pungutan sawit.
Hal ini diharapkan agar lebih fokus berkontribusi mendukung produktivitas, SDM petani dan kesejahteraan petani. Sebab, regulasi yang menjadi dasar lahirnya dana pungutan dan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) berorientasi terhadap kepentingan petani sawit.
"Setiap rupiah yang diambil untuk dana pungutan, sejatinya berasal dari uang para petani sawit. Itu sebabnya, kebijakan dana pungutan sangat baik dan bertujuan membenahi kebun sawit rakyat," kata Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Ir Gulat ME Manurung MP, saat menggelar rapat koordinasi terbatas, pekan lalu.
Rapat itu dihadiri Jend TNI (Purn) Dr Moeldoko SIP yang juga Ketua Dewan Pembina Apkasindo, bersama Dr Bayu Krisnamurthi, Sahat Sinaga, Mayjen TNI (Purn) Erro Kusnara, SIP, Dr Sadino dan jajaran pengurus Apkasindo di antaranya Rino Afrino (Sekjen). Dalam rapat yang digelar di Kantor Staf Presiden (KSP) RI di Gedung Bina Graha, Jakarta ini, Gulat menyampaikan tiga hal yang perlu diselesaikan.
Yakni kebun sawit rakyat di kawasan hutan, Perpres ISPO, dan dana pungutan/BPDP-Kelapa Sawit. Pertama, Gulat mengkritisi program BPDP-Kelapa Sawit yang saat ini dinilainya mengabaikan kepentingan petani.
Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dengan berbagai hambatan dan kendala dan masih jauh dari target. "Bahkan ada selentingan informasi bahwa petani tidak berhak atas dana pungutan (DP). Padahal DP ekspor CPO yang dikelola oleh BPDP-KS itu 42 persen berasal dari keringat petani," tegasnya.
Selain itu, berkaitan kebun rakyat di kawasan hutan sejatinya pemerintah sudah mengeluarkan banyak aturan, tetapi dari seluruh aturan tersebut belum memberikan jalan keluar dan prioritas bagi kebun sawit rakyat.
"Penyelesaian tata ruang kebun di kawasan hutan perlu dilihat secara hati-hati, agar petani tidak mengalami kerugian dan semakin menderita berujung bangkrut. Ini kesalahan masa lalu kementerian terkait, tidak menjelaskan di mana batas kawasan hutan," ungkapnya.
Terkait petani sangat mendukung Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang berbasiskan peraturan di Indonesia. Tetapi, pada Draft Perpres ISPO mestinya petani tidak diwajibkan mengikuti ISPO sebelum dilakukan pra kondisi. Dalam hal ini, petani dibantu selesaikan persoalan dan masalah lahannya dulu terutama aspek legalitas dan status lahan.
"Kami tidak tolak draf Perpres ISPO. Yang menjadi perhatian kami petani adalah draf Perpres ISPO direvisi khususnya kewajiban ISPO petani, sampai dicarikan solusi teman-teman petani yang masih terjebak dalam kawasan hutan," jelas Gulat.
Menanggapi masukan dan saran petani, Ketua Dewan Pembina Apkasindo yang juga Kepala Staf Kepresidenan RI Jend (purn) Moeldoko berjanji segera berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan. Di antaranya: KLHK, Kementerian Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian untuk mengurai dan memecahkan berbagai persoalan di atas dengan mengedepankan kepentingan dan keberlanjutan Petani sawit Indonesia.
Dalam pertemuan dibahas kemungkinan sawit dimasukkan kembali dalam kelompok tanaman kehutanan, Moeldoko sepakat akan membahas lebih lanjut karena naskah akademisnya sudah ada.
Untuk itu hasil rapat terbatas ini akan disampaikan kepada Kementerian Pertanian dan kementerian terkait saat rapat dengan presiden, termasuk masalah draf Perpres ISPO, harus mengedepankan kepentingan petani dan justru jangan menyusahkan petani sawit.(izl)