(RIAUPOS.CO) - Wacana penundaan pemilu yang digulirkan PKB, PAN, dan Golkar masih mengundang sorotan. Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta Saiful Mujani mengatakan, beberapa negara memang pernah menunda pelaksanaan pemilu. Namun, umumnya hal itu dilakukan negara-negara dengan sistem demokrasi yang lemah, bahkan nondemokratis.
"Contohnya Zimbabwe dan Haiti," kata Saiful. Orang yang berargumen bahwa pemilu seharusnya ditunda dengan alasan pandemi, menurut Saiful, tidak punya basis data empiris yang kuat.
Dia lantas mengutip laporan International Institute for Democracy and Electoral Assistance pada periode 2020 sampai 2021. Dalam rentang waktu tersebut, terdapat agenda 301 pemilu di sejumlah negara. Dari 301 pemilu itu, 62 persen di antaranya diselenggarakan sesuai dengan waktu. Ada yang ditunda kurang dari enam bulan sekitar 32 persen. Lalu, ada 2 persen yang ditunda selama setahun serta 4 persen yang masih ditunda dan belum jelas dilakukan kapan.
"Dari data ini, kita melihat bahwa mayoritas agenda pemilu, termasuk pemilu lokal, tidak terganggu secara umum oleh Covid-19," kata pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) itu.
Saiful menjelaskan, ada perubahan pelaksanaan pemilu di seluruh dunia. Pada kuartal kedua 2020, jumlah penundaan pemilu cukup tinggi. Tapi, beriringan dengan waktu, jumlah penundaan terus menurun. Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa Covid-19 tidak mengganggu pilkada atau pemilu. "Pemilu tidak membuat Covid-19 menjadi lebih buruk," bebernya.
Alasan lainnya, Covid-19 dan pemilu merupakan dua persoalan berbeda. Masing-masing memiliki prosedur penanganan sendiri. "Dari pola ini, terlihat bahwa dua persoalan itu tidak bertabrakan," jelas pria yang menempuh pendidikan doktor ilmu politik di Ohio State University tersebut. Bahkan, India yang memiliki penduduk banyak pun tetap menjalankan pemilu nasionalnya.
Indonesia bisa melaksanakan pilkada 2020. Kekhawatiran bahwa partisipasi pemilih sangat rendah juga tidak terbukti. Menurut dia, justru partisipasi pemilu waktu itu lebih tinggi daripada rata-rata kondisi normal. "Ternyata Covid-19 bisa diurusi pemerintah dengan serius, sementara kewajiban konstitusional untuk pilkada juga tetap dipenuhi," ungkap Saiful.
Selain itu, dia berpendapat bahwa pemilu tidak menghambat pembangunan ekonomi. Menurut Saiful, argumen penundaan pemilu karena alasan ekonomi sangat lemah. Sebelumnya, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa kalangan pengusaha menginginkan penundaan pemilu. Namun, Saiful mengatakan bahwa hal itu perlu penelitian lebih lanjut. "Para pengusaha ini sudah mengalami pemilu dengan baik selama 20 tahun," tuturnya.
Saiful menerangkan, hampir semua negara di dunia mengalami pertumbuhan ekonomi yang minus sekitar 3 persen. Begitu memasuki 2021, pertumbuhan ekonomi dunia mulai recovery, tumbuh rata-rata 5 persen. Bahkan, ada proyeksi dari Bank Dunia, IMF, termasuk BPS, bahwa ekonomi Indonesia tumbuh sekitar 5 persen tahun ini. "Ekonomi sekarang mulai pulih. Dari 2020 sampai sekarang, Indonesia sudah on the right track seperti negara-negara lain di dunia," bebernya.
Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia Denny JA pun turut berkomentar. Menurut dia, memperpanjang kekuasaan tanpa alasan yang cukup akan dicatat sebagai skandal politik. Menjadikan Covid-19 sebagai alasan menunda Pemilu 2024, menurut dia, tidak sesuai dengan fakta. "Bukti menunjukkan situasi Covid-19 di Indonesia, juga di dunia, semakin aman," ungkapnya.
Dia justru memperingatkan agar politisi berhati-hati. Sebab, pada era media sosial, rekam jejak sulit dihapus. "Politisi yang membela Jokowi justru sebenarnya menjerumuskan Jokowi," tegasnya. Menurut dia, bisa jadi Jokowi dianggap tidak cukup mencegah pendukungnya bermanuver menunda pemilu.
Sebelumnya, Jumat (4/3), pihak Istana menepis isu bahwa usul penundaan Pemilu 2024 berasal atau setidaknya atas sepengetahuan Presiden Joko Widodo. Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Faldo Maldini menyatakan, tanpa bukti valid, isu tersebut akan menjadi gosip politik. "Agak berbahaya jika gosip politik dijadikan kebenaran," ujarnya, Jumat (4/3).
Pelempar pertama wacana penundaan pemilu ke publik dengan alasan menyerap aspirasi masyarakat adalah Ketua Umum (Ketum) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar. Kemudian disusul Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Sebaliknya, partai utama pengusung Jokowi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), justru menolak usul tersebut. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto malah menyentil lingkaran dalam Jokowi yang dianggap tidak memahami keinginan sang presiden.
Sebelum isu penundaan pemilu, bergulir dulu isu Jokowi kembali dicalonkan untuk periode ketiga. Tapi, dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Jokowi menegaskan menolak wacana tersebut. Menurut Faldo, Presiden Jokowi sedang berfokus bekerja dengan bertemu masyarakat dan mengejar target kinerja pemerintah.
"Ini (penundaan pemilu) maunya Pak Jokowi atau tidak? Kalau diukur, pemerintah tidak punya waktu untuk bicara hal ini," tuturnya dalam diskusi Komunitas Total Politik. Karena itu, dia meminta isu tersebut tidak lagi menyeret nama Jokowi. Tentang mengapa mantan gubernur Jakarta tersebut tidak kunjung memberikan pernyataan, Aldo menyatakan bahwa pendekatan yang dilakukan bukan pendekatan ketokohan. Jadi, tokoh yang bersangkutan, dalam hal ini Jokowi, tidak harus bicara. "Saya kurang sepakat kalau Bapak Presiden muncul dan mengomentari hal ini. Ya, kami pantau terus," bebernya.(lyn/c19/oni/das)
Laporan JPG, Jakarta