JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Komnas HAM membuka fakta baru terkait kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir Y. Kompolnas mengungkapkan bahwa kemungkinan ada sosok ketiga penembak Brigadir Y.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menjelaskan, dari hasil uji balistik yang dilakukan, muncul dugaan adanya pelaku lain yang menembak Yosua. Artinya, penembak Yosua bukan hanya dua, tapi tiga orang. "Polri harus menyelidiki," ujarnya, Ahad (4/9).
Dugaan itu muncul dari besarnya lubang peluru yang berbeda. Diduga ada dua senjata yang digunakan untuk menembak Brigadir Yosua. Bila Sambo menyebut hanya Bharada E yang menembak, Bharada E justru mengaku penembak bukan hanya dirinya.
Lalu, siapa yang menembak dengan senjata berjenis berbeda dari Bharada E. "Penyidik harus mencari bukti-bukti pendukung kuat, selain keterangan saksi," jelasnya.
Pernyataan Kompolnas tersebut berbeda dengan kronologi yang dirilis Polri menggunakan animasi. Dalam kronologi tersebut, digambarkan bahwa Bharada E menembak Yosua tiga atau empat kali. Lantas, Sambo menembak Yosua di kepala bagian belakang dengan senjata Bharada E. Kalau uji balistik menemukan peluru jenis senjata lain, siapa penembak ketiga ini?
Perlu Perbaikan Sistem Kepolisian
Di sisi lain, Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto menuturkan, problem utama selama ini adalah Polri telah menjadi lembaga super. Perencanaan anggaran, perumusan kebijakan, operasional dan sekaligus pengawasan berada dalam satu tubuh, Korps Bhayangkara. "Pengawasan dilakukan internalnya dengan perkoncoannya," ujarnya.
Antara satu sama lain, atas nama korps, letting, jiwa korsa atau apalah itu, penegak hukum malah melakukan kejahatan. "Polisi tidak bisa seperti ini," terangnya kepada Jawa Pos (JPG), kemarin.
Pengawasan eksternal yang dilakukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) justru diracuni. Kewenangannya sekadar rekomendasi, komposisi dan personalnya justru dari kepolisian. "Di negara lain, Kompolnas ini membawahi polisi. Di Indonesia, Kompolnas kawan sendiri," ujarnya.(idr/jpg)