JAKARTA (RIAUPOS.CO)- Aktivitas erupsi Gunung Sinabung hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Tim SAR gabungan yang ditugasi mencari korban awan panas di Desa Sukameriah pun terpaksa kembali mengurungkan kegiatan. Sesekali tim SAR naik, namun harus kucing-kucingan dengan awan panas.
Sejak pagi, Selasa (4/2), Sinabung terus mengeluarkan guguran lava yang menimbulkan awan panas. Seperti sebelumnya, luncuran awan panas mengarah ke Desa Sukameriah yang berada di sisi tenggara Sinabung, tiga kilometer dari kawah. Selama ini, desa tersebut juga menjadi jalur lahar dingin setiap kali Sinabung erupsi.
‘’Sampai saat ini, tim evakuasi masih berupaya mencari para korban awan panas yang mungkin masih tertinggal di Sukameriah,’’ terang Kepala Pusat Data, Informasi, dan humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho kemarin. Keyakinan itu didasari banyaknya jumlah kendaraan yang tertinggal.
Hanya saja, untuk naik ke desa tersebut memerlukan keberanian ekstra. Tim evakuasi yang dipersenjatai masker, kacamata hitam, dan sepatu khusus tidak hanya dihadang oleh tumpukan tebal abu vulkanik. Mereka juga harus kucing-kucingan dengan ancaman awan panas yang sewaktu-waktu bisa terjadi.
Karena itu, 170 petugas yang disiapkan tidak bisa langsung dikerahkan bersamaan. Begitu pula dengan durasi pencarian.
Dalam satu kali trip, hanya dibatasi sepuluh sampai 15 menit. Setelah itu, tim evakuasi harus turun untuk kembali menyusun strategi. Sebab, kemunculan guguran lava dan awan panas tidak bisa diprediksi.
Jika sampai durasi tertentu PVMBG memperkirakan tidak akan muncul awan panas, tim evakuasi akan naik lagi selama 15 menit. Selama pencarian, mereka dibekali GPS.
Tujuannya, agar pencarian tidak dilakukan di tempat yang sama dua kali kecuali ada pertanda bagus. Karena itu, hingga saat ini jumlah korban tewas masih 15 orang ditambah dua korban luka.
Sementara itu, Sutopo kembali menegaskan jika erupsi Sinabung bukan tergolong bencana nasional. Penegasan itu merespons kritikan bertubi sejumlah warga yang menginginkan Sinabung dijadikan bencana nasional.
Sutopo mengatakan, penetapan sebuah peristiwa sebagai bencana nasional merupakan kewenangan Presiden. Tolok ukurnya sudah ada pada UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Berdasarkan UU tersebut, Sinabung digolongkan bencana lokal/kabupaten.
‘’Presiden baru satu kali menetapkan bencana nasional, yakni saat tsunami di Aceh tahun 2004,’’ tutur peneliti Senior BPPT itu.
Kala itu, jumlah korban tewas dan hilang lebih dari 180.000 jiwa. Kerugian materiil lebih dari Rp45 triliun, pemkab/pemko dan Pemprov Aceh serta Sumut tidak mampu mengatasi.
Bencana lain belum ada yang diklasifikasikan sebagai bencana nasional. Sebut saja gempa Yogyakarta 2006 dengan korban 5.716 jiwa tewas, kerugian Rp29 triliun, dan berdampak pada Provinsi DIY dan Jateng. Kemudian, gempa Sumbar 2009 dengan korban 1.117 jiwa, kerusakan di sembilan kabupaten dan kerugian Rp21 triliun.
Ada pula erupsi Gunung Merapi 2010 dengan korban jiwa 386 orang, empat kabupaten dan 2 provinsi terdampak, pengungsi 500 ribu jiwa, dan kerugian Rp3,56 triliun. Ketiga bencana itu berdampak yang lebih besar daripada Sinabung, namun presiden tidak menyatakan sebagai bencana nasional.
Bencana Sinabung selama beberapa bulan terakhir tidak membuat Pemda Karo dan Pemprov Sumut lumpuh. Bupati Karo dan Gubernur Sumut beserta anak buahnya masih mampu menjalankan pemerintahan sehari-hari.
‘’Meskipun bantuan yang diberikan untuk penanganan darurat Sinabung hampir 95 persen dari pusat. Bukan berarti disebut bencana nasional,’’ tambahnya.
Status bencana nasional akan membuat pemerintah pusat mengerahkan segala potensi yang ada di level nasional untuk menanggulangi dampak bencana tersebut. Sedangkan, bencana lokal berarti pemerintah daerah masih sanggup menangani meski mendapat bantuan dari pusat.(byu/jpnn)