WACANA LARANGAN CADAR DAN CELANA CINGKRANG

Wamenag Sebut untuk Internal

Nasional | Minggu, 03 November 2019 - 11:05 WIB

Wamenag Sebut untuk Internal

(RIAUPOS.CO) -- Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa'adi meminta masyarakat menanggapi wacana pelarangan cadar dan celana cingkrang secara dewasa. Dia menjelaskan wacana yang dilontarkan Menag Fachrul Razi itu hanya untuk pegawai di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag).

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu mengatakan wacana soal penggunaan cadar dan celana cingkrang itu sebatas upaya penertiban dan penegakan disiplin. ’’Khususnya di lingkungan Kementerian Agama,’’ katanya di Jakarta, kemarin (2/11).


Untuk itu Zainut meminta wacana tersebut tidak perlu ditanggapi secara emosional, berlebihan, dan penuh dengan kecurigaan. Menurut dia langkah penertiban dan penegakan disiplin seragam atau busana tersebut masih wajar. Selain itu juga bagian dari pembinaan aparatur pemerintahan masing-masing.

Zainut menjelaskan pembinaan itu penting supaya aparatur kembali mematuhi ketentuan yang sudah ditetapkan. "(Menanggapi, red) Tanpa harus mengaitkan dengan hak privasi seseorang. Apalagi memperhadapkan dengan kebebasan dalam melaksanakan ajaran agama," jelasnya.

Politikus PPP itu mengatakan penerapan larangan bercadar dan celana cingkrang dalam rangka penegakan disiplin, dipastikan tidak melanggar ajaran agama. Kemudian juga tidak melanggar hak privasi atau hak asasi seseorang. Zainut menegaskan wacana tersebut masih dalam koridor ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut dia ketentuan penggunaan seragam dan tata cara berpakaian untuk ASN, polisi, tentara, semua sudah ada. Aturan tersebut juga mengindahkan nilai-nilai etika, estetika, dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. ’’Sehingga ketentuan tersebut harus ditaati dan diindahkan oleh semuanya,’’ jelasnya.

Ketentuan soal seragam di lingkungan Kemenag tertuang dalam Surat Edaran Sekjen Kemenag yang keluar pada 2016 lalu. Ketentuannya adalah pada Senin dan Selasa menggunakan baju putih lengan panjang dan celana gelap. Kemudian Rabu menggunakan PDH warna khaki. Lalu Kamis mengenakan batik, kain tenun, atau pakaian adat setempat. Terakhir pada hari Jumat menggunakan pakaian bebas rapi.

Setiap tanggal 17 pegawai Kemenag menggunakan seragam atau pakaian korpri. Di dalam ketentuan tersebut belum diatur secara jelas tentang celana cingkrang. Selain itu juga belum ada ketentuan soal penggunaan cadar.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Prasetyo Sunaryo memberikan komentar soal polemik larangan cadar dan celana cingkrang di kalangan pegawai pemerintah. Dia mengatakan semua pihak supaya bisa saling merukunkan. ’’Jadi kalau di masjid kita disuruh bicara baik dan menyejukkan, begitu juga yang di luar masjid,’’ katanya.

Prasetyo menjelaskan semua elemen sebaiknya harus bersama-sama bicara yang baik dan menyejukkan. Dia menuturkan di LDII selama ini tidak menggunakan cadar bagi para anggotanya. Sedangkan untuk celana cingkrang atau di atas mata kaki, memang menerapkannya.

Prasetyo mengatakan kurang sepakat ketika orang yang menggunakan celana cingkrang lantas langsung dicap radikal. Dia kembali meminta semua pihak untuk mengeluarkan pernyataan atau gagasan yang menyejukkan. ’’Makanya kita harapkan yang dimasjid disuruh menyejukkan. Yang diluar masjid juga menyejukkan,’’ tuturnya.

Jangan sampai pihak-pihak yang di luar masjid justru melempar wacana, gagasan, dan sejenisnya yang tidak menyejukkan. Dia mengatakan bahwa umat Islam, atau masyarakat pada umumnya bersifat patuh dan taat. Pasti bersedia diajak duduk bersama untuk menyelesaikan beberapa persoalan. Termasuk juga berembuk terkait mencari solusi terhadap radikalisme.

Sementara itu terkait dengan sebutan radikalisme, Presiden Joko Widodo mengutarakan sebutan baru. Dia menyampaikan istilah radikalisme bisa diubah dengan manipulator agama. Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan istilah manipulator agama itu baru ide.’’Kita pokoknya apapun Namanya lah. Yang penting tindakannya seperti itu,’’ jelasnya.

Pada intinya perilaku atau perbuatan tidak konstitusional. Kemudian memahami agama secara tidak tepat. Kemudian melakukan penyalahgunaan ajaran agama, politisasi agama, serta menafsirkan agama secara tidak moderat.(wan/das)

Laporan JPG, Jakarta

 

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook