TELUKKUANTAN (RIAUPOS.CO) - Ketegangan antara eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif (DPRD) di Kuantan Singingi (Kuansing) terus berlanjut. Bahkan semakin meruncing, setelah beredarnya berkas kesepakatan enam fraksi dari enam partai politik besar di DPRD Kuansing ke publik, Jumat (20/10).
Keenam fraksi dari partai politik besar pemilik suara di DPRD Kuansing yang membuat kesepakatan itu masing-masing adalah Partai Golkar (enam kursi), PPP (empat kursi), Nasdem (empat kursi), PDI Perjuangan (tiga kursi), PKB (tiga kursi), dan PKS (dua kursi).
Kesepakatan itu langsung ditandatangani masing-masing ketua partai politik dan ketua fraksi. Partai Golkar langsung ditandatangani Ketua DPD I Partai Golkar Kuansing Dr Adam SH MH yang juga sebagai ketua fraksi di DPRD Kuansing.
Kemudian PPP oleh Drs H Darmizar selaku Ketua DPC dan Ketua Fraksi PPP. PDI Perjuangan ditandatangani Ketua DPC PDI Perjuangan H Halim dan Satria Mandala Putra selaku ketua fraksi. PKB oleh Ketua DPC PKB H Musliadi dan Mawardi sebagai ketua fraksi.
Lalu ada Partai Nasdem yang ditandatangani H Muslim sebagai ketua partai dan ketua fraksi. Dan Ketua Partai PKS sekaligus Ketua Fraksi Syafril ST.
Wakil Ketua I DPRD Kuansing Darmizar yang dihubungi enggan berkomentar. Mereka sudah sepakat, yang akan memberikan penjelasan langsung adalah Ketua DPRD Dr Adam. Begitu juga dengan Ketua DPC PKB H Musliadi yang dihubungi terpisah, meminta langsung “satu pintu” melalui Ketua DPRD Adam. Namun baik Darmizar maupun Musliadi tak menapik sudah membubuhi tandatangan kesepakatan terhadap poin-poin yang dituangkan dalam kesepakatan bersama enam partai.
Ketua DPRD Kuansing Adam yang dikonfirmasi Riau Pos membenarkan kalau mereka enam fraksi dari enam partai politik sudah membuat kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh masing-masing ketua partai politik dan ketua fraksi.
Kesepakatan ini dibuat bersama setelah melakukan rapat internal pimpinan dan anggota di Kantor DPRD Kuansing, Kamis (5/10) lalu. Rapat itu diikuti mayoritas fraksi di DPRD Kuansing. Masing-masing Fraksi Partai Golongan Karya (F-Golkar), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB), Fraksi Partai Nasional Demokrat (F-Nasdem), dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Hati Nurani Rakyat (F-PKS-Hanura).
Rapat itu, lanjut Adam, melahirkan sejumlah kesepakatan penting untuk negeri. Mulai dari mengingatkan atau me-warning Bupati Kuansing Suhardiman Amby perihal kebijakan yang dinilai arogan. Hingga merekomendasikan menyekolahkan bupati, bahkan sampai merekom memakzulkan Bupati Kuansing yang dinilai telah melanggar aturan yang ada.
“Maka kami fraksi-fraksi DPRD Kuansing, Golkar, PDIP, PPP, Nasdem, PKB dan PKS, menyikapi kepemimpinan Bupati Kuantan Singingi saat ini dalam menjalankan roda pemerintahan, merekomendasikan 12 poin penting. Dan nantinya akan kami tindaklanjuti sesuai aturan yang ada,” kata Ketua DPRD Kuansing, Adam.
Dari dokumen yang didapatkan Riau Pos, fraksi-fraksi di DPRD Kabupaten Kuantan Singingi menyatakan sikap, antara lain. Pertama, di sektor pendidikan. Mereka meminta dunia pendidikan jangan diganggu dan diobok-obok dengan menjadikan guru-guru sebagai pamong dan penjabat kepala desa untuk memenuhi hasrat politik bupati.
“Dan jangan ada intervensi terhadap penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS), seperti adanya dugaan pengadaan buku di sekolah yang telah dikondisikan penyedianya oleh bupati atau pejabat terkait,” tegas Adam.
Kedua, mengenai kesehatan. Meminta tidak ada lagi pungutan pelayanan kesehatan, terkhusus pengguna BPJS. Sebab menurutnya ini sesuai dengan program Presiden Republik Indonesia yaitu, program UHC. “Tapi, kenyatannya masih ada ditemukan masyarakat mengeluarkan biaya berobat,” sebutnya.
Ketiga, kata Adam, mengenai pengangkatan dan pemindahan aparatur sipil negara (ASN) tak sesuai regulasi dan dinilai menyalahi aturan UU ASN. Pengangkatan dan pemindahan ASN dijadikan alat politik bupati untuk memenangkan partai politik yang dipimpinnya pada pemilihan umum (pemilu), baik di Pileg maupun Pilpres 2024. Sehingga terkesan adanya intervensi dari bupati terhadap setiap ASN yang mendapat jabatan, baik eselon II, III, maupun fungsional.
“Pemindahan ASN tersebut, baik guru, ASN teknis maupun ASN umum, kami nilai tidak mengedepankan rasa kemanusiaan dan terkesan membunuh karier ASN tersebut. Misalkan, ASN pindah tugas dari kecamatan yang jaraknya jauh dari tempat domisili. Seperti ASN domisili Singingi pindah tugas ke Kecamatan Pucuk Rantau, atau ASN di Hulu Kuantan pindah ke Cerenti yang jaraknya puluhan kilometer, dengan menempuh perjalanan sekitar 2 hingga 3 jam,” lanjut Adam.
Lalu kemudian, yang viral di masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi tentang adanya pungutan liar (pungli) terhadap ASN yang berkedok infak dan sedekah yang disalurkan kepada lembaga yang dinilai ilegal. Seharusnya, katanya, infak dan sedekah itu dipungut oleh lembaga resmi yang memiliki legalitas.
“Dan Bupati Kuansing juga diduga telah melakukan pemotongan tunjangan penambahan penghasilan (TPP) ASN, khusus pejabat eselon II. Di mana, TPP pejabat tersebut naik secara drastis dari tahun sebelumnya,” bebernya lagi.
Semua hasil pemotongan TPP pejabat dan infak dan sedekah ASN di lingkungan Pemkab Kuansing digunakan untuk kegiatan politik bupati. Seperti melayur jalur dan melaksanakan turnamen-turnamen olahraga dan kegiatan politik lainnya.
ASN dan Kades Diancam Diperiksa Khusus
Adam juga menyinggung soal adanya intervensi, ancaman terhadap kepala desa dan penjabat kepala desa. Setiap kepala desa yang tidak sejalan dengan keinginan politik bupati, maka bupati langsung memerintahkan agar kepala desa tersebut dilakukan pemeriksaan khusus (riksus) atau audit khusus oleh instansi berwenang, yakni Inspektorat. “Bahkan, baik kepala desa maupun penjabat kepala desa dilarang bupati untuk menerima reses anggota DPRD di luar partainya. Ini tentu bertentangan dengan UU MD3 dan UU 22/1999 tentang kedudukan DPRD,” sambungnya.
Kemudian, lanjut Adam, para kader Program Keluarga Harapan (PKH) Kabupaten Kuansing dikumpulkan dan terkesan melakukan paksaan untuk memenangkan partainya di Pileg dan Pilpres 2024. Mereka dari enam fraksi juga melihat kejanggalan di Inspektorat Kuansing. Inspektorat mereka duga dijadikan alat politik untuk intervensi ASN dan desa.
Di pelaksanaan pacu jalur, pada tahun 2023 sudah tak lazim lagi. Pacu jalur Kabupaten Kuansing diadakan hampir setiap bulan. Kondisi itu dinilai sangat menyulitkan rakyat. Sementara pelaksanaannya di tingkat rayon dan iven nasional sudah dilaksanakan yang berakhir di Agustus.
Namun, karena kebijakan pelaksanaan pacu jalur dilaksanakan setiap bulan. Maka, pacu jalur kembali digelar setelah Agustus. Sehingga pacu jalur tidak lagi dirasakan sakral dan menarik. Hal ini tentu dinilai mengkhianati para pendahulu Kuansing dalam konteks nilai budaya dan adat istiadat.
“Pacu jalur yang dilaksanakan terkesan bermuatan politik dan membebani APBD Kuansing. Seharusnya puncak pelaksanaan pacu jalur adalah iven nasional Tepian Narosa Teluk Kuantan dan tak ada lagi pelaksanaan pacu jalur setelahnya,” lanjutnya.
Mereka juga mencatat soal acara audiensi yang dinilai mengabaikan pelayanan publik. Kegiatan audiensi bupati yang terkesan seremonial dan bermuatan politik. Dalam satu hari bisa sampai empat kali dengan memboyong seluruh pejabat, sehingga meninggalkan pekerjaan wajib sebagai seorang ASN yang melayani masyarakat. Hal ini mengakibatkan pelayanan terganggu.
Sebaliknya, bupati dan para pejabat banyak yang tidak mau menghadiri undangan yang dibuat DPRD. Misalnya, undangan untuk menghadiri pelantikan anggota pengganti antar waktu (PAW) DPRD Kuansing 2019-2024 dan beberapa undangan lainnya.
DPRD Kabupaten Kuantan Singingi juga menyikapi surat dari BPKAD Kuansing Nomor 900/BPKAD/2023/1885 yang ditujukan kepada Sekretaris Dewan (Sekwan) pada tanggal 2 Oktober 2023 tentang pemberitahuan penundaan pencairan dana atas hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Kuantan Singingi.
Mereka memandang itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) bab enam (VI) tentang DPRD kabupaten/kota paragrap 3 hak keuangan dan administratif Pasal 390 Ayat 1 sampai 4, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten/kota.
Dan diperkuat dengan salinan PP Nomor 1 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PP Nomor 18 tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD. Di mana sudah diatur dalam peraturan derah yang besarannya sudah ada dalam Peraturan Bupati Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD Kuansing.
“Surat dari BPKAD Kuansing ini, tentu mencederai rasa keadilan atas hak dan fasilitas yang diberikan kepada pimpinan dan anggota DPRD selama menjabat. Dan kami menilai, ini sikap balas dendam, bentuk arogansi bupati dan sifat ugal-ugalan bupati terhadap APBD Perubahan 2023 yang gagal disepakati bersama antara eksekutif dan legislatif,” papar Adam.
Dengan kegagalan APBD-P 2023 tersebut, kata Adam, Bupati Kuansing ingin merontokkan dan melemahkan lembaga DPRD Kuansing dalam fungsi pengawasan penganggaran dan legislasi, dan terkesan menyalahkan DPRD Kuansing yang tak sepakat soal APBD-P 2023.
Padahal perubahan APBD itu, katanya, maupun APBD murni merupakan tanggung jawab bersama atau keputusan bersama untuk menjadikan peraturan daerah.
Tetapi sebaliknya, bupati menjadikan kegagalan APBD-P sebagai alat politik untuk melemahkan lembaga DPRD. Padahal, menurut aturan, APBD-P boleh dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Tetapi bupati berbicara di media seakan-akan DPRD telah menzalimi hak dan keperluan masyarakat Kabupaten Kuansing.
Bupati Berpotensi Dimakzulkan
Dengan adanya indikasi Bupati Kuansing melanggar UU MD3 sekaligus mengebiri peran lembaga legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan mengabaikan norma kehidupan bermasyarakat serta adanya potensi menimbulkan kegaduhan yang berakibat terganggunya kondusivitas daerah di tengah penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi.
Untuk itu, DPRD Kuansing mengusulkan kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk memberikan pendidikan khusus atau menyekolahkan Bupati Kuansing sesuai dengan aturan yang ada. “Sesuai aturan yang ada, kami di lembaga DPRD Kabupaten Kuantan Singingi akan mengaji untuk menggunakan hak DPRD sebagaimana diatur dalam UU MD3. Yakninya menggunakan hak interpelasi dan hak angket dalam upaya untuk pemakzulan Bupati Kuantan Singingi,” tegasnya.
Bupati Suhardiman Pilih Diam
Pascaberedarnya kesepakatan enam partai politik pemilik kursi di DPRD Kuansing, Riau Pos mencoba menghubungi Bupati Kuantan Singingi Drs H Suhardiman Amby terkait poin-poin yang menjadi rekomendasi enam partai politik.
Setelah berkali-kali menghubungi via telepon dan WA, akhirnya pukul 19.58 WIB, Bupati H Suhardiman Amby mengirimkan balasan WA yang dikirimkan Riau Pos ke nomor pribadinya. Suhardiman Amby dalam balasan WA ke Riau Pos lebih memilih diam dan enggan berkomentar.
Suhardiman Amby malah balik bertanya. “Yang dituduhkan ada buktinya apa tidak? Semua yang dikerjakan bupati ada dasar hukumnya apa tidak?, “ kata Suhardiman.
Mendapat balasan itu, Riau Pos langsung menghubungi kembali tetapi tidak diangkat. Tak lama Bupati Suhardiman Amby kembali mengirimkan pesan kalau dirinya sedang ada kegiatan. “Maaf ya. Sedang acara. Nanti kalau saya yang jawab, bupati dianggap membela diri, “ ujarnya mengakhiri komunikasi.(tim)